Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar menilai permintaan dana saksi dari partai politik sebelum calon kepala daerah mendaftarkan diri dalam Pilkada Serentak 2018 tak masuk akal. Alasannya penggunaan saksi dalam Pilkada dan kebutuhan dananya baru dimulai pada Juni 2018 saat mendekati jadwal pencoblosan.
"Apakah secara logika mungkin dana yang akan dipergunakan di bulan Juni akan diserahkan sekarang," kata Fritz di kantornya, Jakarta, Rabu (17/1).
Fritz juga mempertanyakan mengapa justru partai politik yang mengkoordinir dan meminta biaya saksi dalam Pilkada. Padahal, lanjut Fritz, sebenarnya yang memiliki kepentingan untuk melihat proses pemungutan suara adalah calon kepala daerah yang berkompetisi.
"Kami bisa melihat logika yang terjadi apakah ini dana saksi atau bukan dana saksi," kata Fritz. (Baca: Bawaslu Akan Periksa La Nyalla Soal Dugaan Mahar Politik di Gerindra)
Fritz menduga dana saksi yang dimintai sebelum calon kepala daerah mendaftarkan diri hanya alasan partai politik mendapatkan mahar. Menurut Fritz, mahar politik secara tidak langsung merusak sistem demokrasi yang saat ini dibangun.
Sebab, mahar politik dapat menghambat pendidikan dan proses kaderisasi partai politik. Selain itu, kader partai politik kesulitan menjadi calon kepala daerah karena adanya praktik mahar.
"Masyarakat juga harus memilih para kader yang tidak mereka impikan karena hanya diberikan kader yang terbatas oleh pilihan partai politik," kata Fritz.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, adanya mahar hanya menjadikan partai politik sebagai alat bagi pemodal untuk merebut kekuasaan. Alasannya, orang yang akan didorong maju dalam Pilkada justru yang memiliki banyak uang.
"Apabila itu kita benarkan, maka partai politik hanya perahu untuk mereka yang punya uang untuk merebut kekuasan.
Karenanya, menurut Titi, Bawaslu perlu mengambil sikap tegas untuk mengusut dugaan mahar politik. Menurut Titi, Bawaslu harus secara aktif melakukan pengawasan serta mampu menindaklanjuti potensi kecurangan tersebut.
"Bawaslu harus genit demi keadilan pemilu, untuk mengawasi potensi kecurangan yang terjadi," kata Titi. (Baca: Kisruh Tudingan La Nyalla soal Mahar Politik di Gerindra)
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi menilai setidaknya ada dua mekanisme yang bisa dilakukan Bawaslu untuk bisa mengusut kasus mahar politik dalam Pilkada 2018. Pertama, adalah dengan melakukan pemidanaan terhadap aktor-aktor yang diduga terlibat dalam perkara mahar politik.
Kemudian, Bawaslu dapat mendorong adanya pemberian sanksi administratif terhadap partai politik yang terlibat. Hal ini dilakukan agar memunculkan efek jera terhadap partai yang melakukan praktik mahar politik.
"Lebih penting mendorong sanksi administratif, bisa mendiskualifikasi pasangan calon atau periode mendatang partai tidak bisa mencalonkan kandidat," kata Veri.
Menurut Veri, Bawaslu saat ini tidak terlalu kesulitan dalam mengungkap kasus mahar politik. Pasalnya, sudah banyak aktor yang berani berbicara mengenai masalah ini kepada publik.
"Mestinya tidak akan terlalu sulit untuk proses pembuktian," kata Veri.
Salah satu aktor yang kerap berbicara terkait dugaan mahar politik, yakni mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur La Nyalla Mattaliti. La Nyalla menuding dimintai mahar politik oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto saat pencalonan dalam Pilkada Jawa Timur.
Dalam konferensi pers, Kamis (11/1) La Nyalla mengungkapkan kronologi dirinya dimintai sebesar Rp 40 miliar. Uang tersebut diminta Prabowo dengan dalih uang saksi untuk 68 ribu Tempat Pemungutan Suara pada 9 Desember 2017 saat mereka bertemu di Hambalang, Jawa Barat.
Sebelum tanggal 9 Desember, La Nyalla juga menyatakan sempat dimintai secara langsung oleh Prabowo untuk menyiapkan Rp 200 miliar. La Nyalla awalnya hanya menganggap ucapan Prabowo itu bercanda. "Saya pikir main-main, ternyata ditagih betul Rp 40 miliar," kata La Nyalla.
La Nyalla menyatakan tak bermasalah bila harus mengeluarkan uang. Namun, ia menolak mengeluarkannya sebelum ada rekomendasi resmi dari Gerindra untuk maju di Pilkada Jatim. La Nyalla yang belakangan tak mendapatkan rekomendasi dari Gerindra di Pilgub Jatim menyatakan mundur dari partai tersebut.