Pembentukan perusahaan induk atau holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai masih belum mendesak. Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri bahkan menyebut pembentukan holding BUMN sebagai upaya 'kawin paksa'.
Faisal mencontohkan, Holding Pertambangan memiliki lini bisnis yang berbeda-beda, sehingga sinergi yang dihasilkan pun menjadi tidak maksimal. "Idealnya kalau mau cepat, Inalum sinergi dengan industri otomotif untuk produksi alumuniumnya. Kalau ini kawin paksa namanya," ujarnya saat diskusi dengan media, di Hotel Westin Jakarta, Senin (27/11).
Selain itu, jika untuk melakukan hilirisasi, menurut Faisal, tidak semua hilirisasi akan menguntungkan. Ia mencontohkan, tembaga hanya akan menghasilkan nilai tambah yang sedikit apabila dihilirisasi.
Selain itu, dari segi kewenangan, ia menyindir Kementerian BUMN yang menurutnya telah berperan seperti holding yang mengendalikan kerja perusahaan pelat merah. "Ini kan sudah ada Menteri BUMN. Holding-nya luar biasa kuat, memasukkan politisi ke (jabatan) komisaris," ujarnya.
(Baca juga: BTN Dukung Segmentasi Bisnis Holding BUMN Perbankan)
Sementara, Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono mengatakan, masih ada beberapa hal yang perlu dijelaskan sebelum merealisasikan holding BUMN. Ia khawatir ada modus menghindari pengawasan DPR terhadap perusahaan yang menjadi anggota holding karena melepas status BUMN nya tersebut.
Bambang juga mengkhawatirkan adanya aksi-aksi korporasi anggota holding tanpa melalui skema Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). "Karena harus tetap ada (pengawasan DPR) setiap langkah strategis yang akan dilakukan," ujar politisi Gerindra ini.
Kedua, berkaca pada holding BUMN sebelumnya, rencana ini dinilai tidak akan berhasil apabila dilakukan terburu-buru tanpa kajian yang jelas. Bambang mencontohkan, Holding BUMN Perkebunan yang berkinerja semakin buruk.
(Baca juga: Target Masuk Fortune 500, Holding Tambang Siapkan Sinergi Operasional)
Sebelum dibentuk, perusahaan perkebunan negara masih memproduksi 2,5 juta ton gula per tahun dengan impor di bawah 2 juta ton per tahun. Setelah dibentuk, khususnya di tahun 2016, produksi gula justru turun di bawah 2 juta ton per tahun dan impor membengkak menjadi 3 juta ton per tahun. Kinerja Holding BUMN Perkebunan semakin memburuk lantaran penutupan 18 pabrik gula.
Selain itu, Holding Semen Indonesia juga tidak menunjukan kinerja yang cukup signifikan. Sejak pembentukan holding, perusahaan negara ini menguasai 43% pangsa pasar semen di Indonesia, namun saat ini justru turun menjadi 23,8%.
Selain itu, Kementerian BUMN sendiri masih belum menjelaskan target serta tujuan konkrit pembentukan holding ke anggota dewan. Alhasil, Bambang mengatakan, lebih baik pemerintah mengkaji kembali rencana tersebut.