Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengakui bahwa dirinya pernah memiliki saham di sebuah perusahaan minyak dan gas asal Kanada, NTI Resources Ltd. Perusahaan itu masuk dalam daftar dokumen Paradise Papers, dianggap sebagai salah satu perusahaan cangkang (offshore) yang berbasis di Cayman Islands.
Berdasarkan laporan Bloomberg, Sandiaga tercatat pernah menjabat sebagai Chief Financial Officer dan Executive Vice President NTI Resource Ltd dari September 1995 hingga 1998.
Namun, Sandiaga menyatakan dirinya menjabat sebagai Direktur Keuangan sejak 1995 hingga 1996. "NTI itu adalah tempat saya pernah bekerja," ujar Sandiaga di Balai Kota, Jakarta, Selasa (7/11).
(Baca: Namanya Masuk Paradise Papers, Sandi Uno Mengaku Rajin Lapor Harta)
Sandiaga menyatakan, NTI Resources telah diambil alih oleh manajemen baru. Dia tak lagi memiliki saham setelah mengundurkan diri dari NTI Resources Ltd. "Waktu selesai tugas enggak punya lagi (saham) dan itu 20 tahunan lalu," kata Sandiaga.
Sandiaga pun membantah jika NTI Resources merupakan perusahaan cangkang. Menurutnya, NTI Resources merupakan perusahaan yang telah terdaftar sahamnya di bursa.
"Perusahaan tercatat di publik kok, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa. Jadi bukan perusahaan cangkang. Ada di CV saya lihat saja," kata dia.
(Baca juga: Masuk di Paradise Papers, Tom Lembong: Wajar Transaksi di Surga Pajak)
Sandiaga pun menyatakan belum mengetahui dokumen Paradise Papers. Sandiaga mengklaim selama ini dirinya transparan dalam memberikan data kekayaannya kepada negara.
"Semua aset sudah dilaporkan melalui KPK, kemarin akhir bulan 31 Oktober sudah ada di e-LHKPN. Tidak ada yang tercecer bisa dilihat," kata Sandiaga.
Organisasi International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) merilis laporan Paradise Papers yang mengungkapkan data orang-orang kaya di seluruh dunia yang menanamkan investasinya melalui perusahaan cangkang (offshore) di luar negeri untuk mendapat pajak rendah atau tidak membayar pajak.
(Baca: PPATK Kumpulkan Data Transaksi Keuangan Terkait Paradise Papers)
Selain masuk daftar di Paradise Papers, Sandiaga juga sebelumnya tercatat memiliki beberapa perusahaan cangkang di British Vrigin Islands yang disebutkan dalam dokumen Panama Papers.
Perusahaan cangkang yang disebutkan dalam Panama Papers yang pernah terkait dengan Sandiaga Uno yakni Arrosez Ltd dan Praeo Ltd yang berkedudukan di British Virgin Island. Kedua perusahaan ini memiliki Acuatico Ltc, yang 80% sahamnya dimiliki oleh PT Recapital Advisors.
Sandiaga Uno dan Rosan Roeslani merupakan dua pemegang saham Recapital Advisors. Lewat Acuatico ini Sandiaga dan Rosan memiliki 100% PT Aetra Indonesia yang mengelola air bersih untuk kawasan timur Jakarta, hingga akhirnya dilepas pada Juni lalu.
Salah satu pendiri ICIJ, Andreas Harsono mengatakan Paradise Papers berbeda dengan Panama Papers dari sumber dokumen. Sumber dokumen Paradise Papers merupakan bocoran dari firma hukum Appleby yang membantu pembuatan transaksi bisnis di Cayman Islands atau Bermuda.
"Appleby lebih elit dibandingkan Mossack Fonseca (sumber dokumen Panama Papers), sehingga hanya segelintir orang Indonesia yang menggunakan jasa firma hukum Appleby," kata Andreas.
Terdapat beberapa nama orang Indonesia lainnya yang masuk ke dalam daftar tersebut, seperti Tommy Soeharto, Mamiek Soeharto, dan Prabowo Subianto. Selain itu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong disebutkan sebagai pemilik perusahaan cangkang bernama Paiton Holdings Ltd.
(Baca juga: Lima Nama Tokoh di Paradise Papers, Ditjen Pajak Akan Telusuri)
Andreas mengatakan data Paradise Papers lebih sedikit memuat orang-orang kaya di Indonesia dibandingkan dalam Panama Papers. "Biaya jasa Appleby lebih mahal dibandingkan Mossack Fonseca," katanya.
Dokumen Paradise Papers ini diperoleh oleh wartawan surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung sekitar satu tahun lalu, kemudian wartawan tersebut meminta ICIJ untuk melakukan penyelidikan bersama.
Andreas mengatakan penggunaan perusahaan cangkang di negara surga pajak seperti Cayman Islands, memang tak melanggar hukum. "Namun secara moral dipertanyakan, karena kegiatan ini berpotensi menyembunyikan pajak," kata Andreas.