Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar membuka peluang adanya pengembangan potensi nuklir di Indonesia. Potensi yang ada ini nantinya bisa menjadi pembangkit listrik jika memang memungkinkan.

Menurut Arcandra, selama ini pengembangan energi nuklir masih dalam tahap pro dan kontra. Seharusnya seluruh pihak bisa membedah secara komprehensif mengenai pengembangan potensi ini. “Tidak usah berdebat. Kami melihat aspek lainnya, kalau memang bisa silakan bangun," kata dia dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jumat (3/11).

Untuk itu, Kementerian ESDM membuat forum pembahasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Jumat (3/11). Forum ini dihadiri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), ITB, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan Kementerian Perindustrian.

Ada beberapa aspek yang perlu dipenuhi sebelum mengembangkan nuklir. Pertama, mengenai cadangan. Saat ini salah satu potensi nuklir dalam negeri ada di Bangka Belitung. Di daerah tersebut memiliki luas pelamparan aluvial sekitar 400 ribu hektare (ha), sehingga potensi/sumberdaya: Thorium 120 ribu ton, Uranium 24 ribu ton, dan Unsur Tanah Jarang 7 juta ton.

Namun, menurut Arcandra masih perlu dibuktikan sebelum dikembangkan. “Hari ini kami koreksi. Yang ada bukan cadangan tapi potensi, kalau sudah cadangan tingkatannya artinya ada kepastian di situ," kata dia. 

Selain itu, perlu juga disiapkan teknologi. Salah satu teknologi yang sudah teruji terkait nuklir berasal dari Rusia. Meski begitu, hingga kini ada 447 PLTN beroperasi di 31 negara, dan 61 negara sedang konstruksi. Perancis kapasitas terbesar yakni 75% bauran energi, sedangkan Cina paling aktif konstruksi.

Adapun, negara yang membangun PLTN seperti Uni Emirat Arab dengan kapasitas 4x1450 MW di 2018, Belarus 2x1200 MW (2018), Bangladesh 2x1200 MW (2023), Turki 4x1200 MW, 4x 1150 MW (2024). Mereka memerlukan waktu 10 tahun untuk mengoperasikan PLTN sejak diputuskan membangun nuklir.

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah harga listrik dari pembangkit nuklir. Keekonomian tarif PLTN saat ini belum memadai. Perhitungan tarif listrik PLTN di Bangka oleh Rosatom (Rusia) sebesar 12 cent US$ per kWh. Padahal harga beli maksimal PLN atau BPP sebesar 7 cent$ per kWh. 

(Baca: DPR Desak Pemerintah Cantumkan Tenaga Nuklir ke Rencana Kerja PLN)

Menurut Arcandra, hingga kini belum ada perhitungan yang lebih akurat dan spesifik mengenai harga listrik dari pembangkit nuklir. Ini  karena keekonomian PLTN sangat tergantung lokasi, meskipun beberapa publikasi global ada yang menyatakan 3 cent US$ per kWh. “Kalau harga itu masuk maka PLTN ada kemungkinan bisa dibangun," kata dia. 

Faktor penting lain yang perlu diperhatikan sebelum membangun pembangkit listrik tenaga nukir adalah sumber daya manusia Indonesia yang mampu mengembangkan nuklir, terutama PLTN. Akan tetapi, secara garis besar Arcandra menilai Indonesia sudah memiliki banyak ahli nuklir.

Aspek terakhir dan penting yang harus dipenuhi adalah kesiapan masyarakat dalalm memasuki era PLTN. Selama ini nuklir masih menjadi momok dan belum banyak diterima masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan studi untuk mensosialisasikan nuklir ke publik. "Ini lihat kembali kesiapan masyarakat‎ seperti apa, karena ini erat kaitanya dengan syndrome selama tidak di daerah saya silakan saja," kata Arcandra.