Lembaga Mirip KPK, Densus Tipikor Butuh Anggaran Rp 2,6 Triliun

Laily Rachev - Biro Pers Setpres
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan kebutuhan anggaran terbesar Densus Tipikor untuk pembentukan sistem dan kantor.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
12/10/2017, 18.26 WIB

Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyebut pihaknya membutuhkan anggaran senilai Rp 2,6 triliun untuk membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor). Densus Tipikor akan menangani khusus kasus korupsi seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tito mengatakan anggaran tersebut terdiri dari anggaran belanja pegawai, barang, dan modal. Densus Tipikor yang akan terdiri dari 3560 orang membutuhkan belanja pegawai sebesar Rp 786 miliar.

Sementara, untuk belanja barang terdiri dari operasional Densus Tipikor Polri, baik dalam proses penyelidikan dan penyidikan diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar Rp 359 miliar. "Selain itu untuk belanja modal Rp 1,55 triliun, termasuk pembentukan sistem dan kantor, pengadaan alat-alat untuk lidik, surveillance, penyidikan dan lain-lain," kata Tito di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/10).

Tito menuturkan, pegawai Densus Tipikor nantinya akan digaji dengan sistem yang diterapkan di KPK yang menggunakan sistem adcost, bukan sistem indeks yang seperti selama ini digunakan.
"Ini pengkajian yang dilakukan KPK yang bisa diterapkan Densus Tipikor," kata Tito.

(Baca: Mabes Polri Akan Dalami Kasus Suap Uber Terhadap Aparat Polisi)

Tito mengatakan, usulan ini sudah disampaikan pula ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Hal ini juga telah diusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar segera dibahas dalam Rapat Terbatas (Ratas) di Istana Negara.

"Kami mohon kepada Komisi III kiranya dapat juga mendukung pemerintah untuk mempercepat pembentukan Densus ini," kata Tito.

Tito mengatakan, kepolisian telah membuat struktur untuk Densus Tipikor yang akan dibawahi oleh polisi berpangkat bintang dua. Selain itu, akan dibentuk Satuan Tugas Tipikor di berbagai wilayah Indonesia.

Tito berharap, Densus Tipikor dapat mengadopsi sistem penuntutan satu atap seperti yang dilakukan KPK. Sehingga, penyidik dan jaksa bisa berada di satu lokasi yang sama. 

Selama ini, tempat penyidik polri terpisah dengan jaksa dari Kejaksaan Agung. Hal ini kerap menyulitkan polisi dalam mengusut suatu perkara karena prosesnya yang panjang. "Kami sudah siapkan tempat untuk satu atap di eks Polda Metro Jaya," kata Tito.

Kendati demikian, jika usulan tersebut tak diterima Tito berharap agar jaksa dapat melekat. "Tanpa mengurangi kewenangan teman-teman dari kejaksaan agung, ini agar tidak terjadi perkara bolak-balik," ucap Tito.

Sebelumnya, Jaksa Agung M Prasetyo menolak usulan bergabung dengan Densus Tipikor. Menurut Prasetyo, ada kekhawatiran Kejagung dianggap bersaing dengan KPK jika bergabung dengan Densus Tipikor.

Terlebih belum ada dasar hukum penyatuan Polri dan Kejaksaan dalam satu lembaga pemberantasan korupsi. Alhasil Kejaksaan memilih tetap berpegang pada KUHAP yang mengatur bahwa Kejaksaan menerima hasil penyelidikan dan penyidikan dari Polri untuk diproses.

Prasetyo juga menilai seharusnya seluruh fungsi penuntutan tindak pidana dikembalikan ke kejaksaan. Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. "Kalau kenyataannya undang-undang seperti itu ya kami laksanakan," kata Prasetyo.