Hakim Tipikor Jadi Tersangka KPK, Ketua Pengadilan Diperiksa MA

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
Ketua Kamar Pengawasan MA Sunarto (kiri) didampingi Ketua KPK Agus Rahardjo, menunjukkan surat pemberhentian Hakim dan Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu Jakarta, Kamis (7/9).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
8/9/2017, 16.18 WIB

Mahkamah Agung akan memeriksa Ketua Pengadilan yang hakim anggotanya terseret kasus korupsi. Kebijakan ini mulai diterapkan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Hakim Anggota Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu Dewi Suryana dan Panitera Pengganti di Pengadilan Tipikor Bengkulu Hendra Kurniawan yang menerima suap dari terdakwa korupsi.

 "Sebenarnya ketua pengadilan itu punya tugas yang sangat berat seperti yang diatur pada Peraturan MA (Perma)," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah kepada wartawan, Jumat (8/9).   (Baca: Hakim PN Bengkulu Terima Suap untuk Ringankan Vonis Kasus Korupsi)

Abdullah mengatakan beberapa Perma mengatur ini di antaranya Perma Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, Perma Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya.

 (Baca: Patrialis Akbar Divonis 8 Tahun Penjara dan Denda Rp 300 Juta)

Abdullah mengatakan, Badan Pengawas MA tengah melakukan pemeriksaan terhadap Ketua PN Bengkulu dan panitera yang menjadi atasan tersangka KPK, Dewi dan Hendra. Pemeriksaan bertujuan mencari tahu apakah kedua atasan melakukan pembiaran terhadap tindakan Dewi dan Hendra.

"Sekarang lagi diperiksa Badan Pengawas apakah ada indikasi itu," kata Abdullah.  (Baca juga: BPK Akan Berhentikan Sementara Auditor yang Ditangkap KPK)

Saat ini, Ketua PN Bengkulu serta panitera yang menjadi atasan Dewi dan Hendra juga dinonaktifkan sementara dan dipekerjakan di Pengadilan Tinggi Bengkulu.

Abdullah mengatakan, seharusnya Ketua Pengadilan dan panitera melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap anak buahnya. Jika hal itu tidak dilakukan, maka mereka pun juga harus menerima sanksi terkait perbuatan Dewi dan Hendra.

(Lihat: Tren Korupsi Meningkat, KPK Dikebiri)

KPK menangkap Dewi dan Hendra karena diduga menerima suap terkait putusan perkara terhadap terdakwa dugaan tindak pidana korupsi kegiatan rutin tahun anggaran 2013 di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset (DPPKA) Kota Bengkulu, Wilson.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menuturkan, Dewi menerima Rp 125 juta untuk meringankan vonis perkara terhadap Wilson awalnya didaftarkan di PN Bengkulu pada 26 April 2017.

Abdullah mengatakan, informasi awal mengenai perkara suap didapatkan dari tim intelijen MA yang melakukan pemantauan di Pengadilan Negeri Bengkulu. Setelah ditemukan indikasi korupsi, tim tersebut lalu melaporkannya ke MA untuk ditindaklanjuti.

(Baca: Meski Keberatan, KPK Bayar Ganti Rugi Hakim Koruptor Rp 100 Juta)

Setelah itu, MA langsung melaporkan informasi tersebut kepada KPK. Abdullah menuturkan, hal itu disampaikan kepada KPK mengingat tindakan yang dilakukan Dewi dan Hendra telah masuk ke ranah tindak pidana korupsi.

"Kenapa MA tidak melakukan tindakan sendiri? Karena perbuatan ini sudah masuk ranah hukum jadi yang berwenang KPK atau penegak hukum lain," kata Abdullah.

(Baca: KPK Sebut Inspektorat Pemerintah Tak Pernah Lapor Kasus Korupsi)

Abdullah mengklaim upaya yang dilakukan MA ini dilakukan untuk memberi efek jera kepada aparat pengadilan yang membandel, meski telah dilakukan pembinaan. Menurutnya, jika pembinaan yang dilakukan MA tidak mampu membuat mereka patuh, maka MA terpaksa melakukan upaya tersebut.

"Ini harus cepat diamputasi. Tugas MA adalah membina, tapi kalau sudah tidak bisa ya apa boleh buat," kata Abdullah. Saat ini, MA telah memberhentikan sementara Dewi dan Hendra hingga menunggu putusan berkekuatan hukum tetap.