Ombudsman RI menemukan 963 kasus permohonan masa hukuman hak warga binaan yang tidak diberikan oleh empat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Empat Lapas tersebut yakni Lapas Kelas IIA Pekanbaru (762 kasus), Lapas Kelas IIA Bekasi (192 kasus), Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang (32 kasus), dan Lapas Kelas IIA Bogor (12 kasus).
Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu menuturkan, pihaknya menemukan berbagai potensi maladministrasi, seperti dalam proses pemberian remisi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. "Pembebasan bersyarat adalah jenis hak yang seringkali tidak diperoleh," kata Ninik di kantornya, Jakarta, Senin (21/8).
Ninik menjelaskan, maladministrasi tersebut ditemukan mulai dari proses pengajuan awal permohonan hingga ke tahap pelaksanaan. Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya potensi maladministrasi yang dapat menimbulkan gratifikasi.
(Baca: Transaksi 1,2 Juta Butir Ekstasi 'Minion' Dikendalikan dari Lapas)
Ninik menjelaskan, gratifikasi tersebut terjadi guna mempermudah proses pengurusan pengajuan pengurangan masa hukuman warga binaan. Modus yang digunakan dalam pemberian gratifikasi tersebut dilakukan tidak secara langsung kepada petugas, melainkan melalui warga binaan lain yang ditunjuk.
"Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa warga binaan mengeluarkan uang walaupun tidak diminta. Pemberian uang ini juga tidak langsung kepada para petugas, namun melalui berbagai medium, salah satunya melalui warga binaan yang piket harian," kata Ninik.
Ninik mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan potensi maladministrasi tersebut terjadi. Salah satu faktor tersebut yakni adanya keterbatasan sumber daya manusia.
"Ombudsman RI memperoleh informasi bahwa terdapat jumlah petugas pelaksana yang terbatas memantau tindak lanjut proses pengajuan pembebasan bersyarat atau remisi," kata Ninik.
(Baca juga: Ombudsman Evaluasi Kinerja Satgas Pangan)
Selain itu, informasi mengenai pengurangan masa hukuman dan tata cara mendapatkan hak tersebut juga disebut minim disosialisasikan sehingga pengurusannya terkendala. Beberapa lapas juga diketahui memiliki anggaran terbatas guna melaksanakan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) terkait pengurusan pengurangan masa hukuman.
Alhasil, sidang TPP dilakukan dengan mengumpulkan 50-70 warga binaan dalam satu ruangan. Pelaksanaannya pun dilakukan seperti sosialisasi dan bersifat satu arah. Padahal, seharusnya sidang TPP dilakukan melalui tanya jawab pada tiap warga binaan.
"Secara sepintas pelaksaan sidang dengan cara mengumpulkan warga binaan dalam satu ruangan cukup efektif mensiasati anggaran, namun kurang dapat menggali hal-hal yang berkenaan dengan warga binaan dan keberhasilan pembinaan terhadapnya," kata Ninik.
Perilaku menyimpang dari para petugas lapas juga kerap menjadi penyebab maladministrasi. Untuk itu, dia menyarankan agar dibuatkan sistem yang baik untuk mencegah perilaku menyimpang tersebut.
"Ini mengingat potensi pembiasaan yang bakal terus terjadi, mulai dari penyimpangan yang kecil-kecil hingga yang luar biasa," kata Ninik.
Menanggapi temuan ini, Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Ma'mun mengakui masih banyak kekurangan yang terjadi dalam pengelolaan lapas, baik dari sisi sumber daya manusia maupun anggaran. Untuk itu, pihaknya berjanji melakukan evaluasi atas temuan Ombudsman tersebut.
"Kami mengakui kekurangan petugas kami. Katakanlah masih ada yang belum berintegritas, masih ada melakukan pelanggaran," ucap Ma'mun.
Selain itu, Ma'mun juga berjanji akan melakukan peninjauan ulang terhadap Peraturan Pemerintah Kemenkumham Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Kemenkumham, katanya, juga segera menerbitkan revisi Peraturan Menteri Kemenkumham Nomor 21 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
"Kami sekarang ini sudah ada drafnya tentang perubahan dari Permen 21/2006," kata Ma'mun.