Persoalkan Syarat Capres, Gerindra dan Yusril Akan Gugat UU Pemilu

ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Simpatisan Partai Gerindra merayakan kemenangan saat hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua di DPP Partai Gerindra, Jakarta, Rabu (19/4).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
21/7/2017, 11.37 WIB

Partai Gerindra berencana mengajukan gugatan uji materi (judicial review) Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu (UU Pemilu) yang telah disahkan lewat mekanisme pemungutan suara (voting) di sidang paripurna, Jumat (21/7) dini hari. Partai yang dipimpin Prabowo Subianto ini keberatan dengan UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dengan syarat dukungan sebanyak 20% kursi di dewan atau 25% suara nasional.

Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafi'i mengatakan, partainya berpendapat presidential threshold seharusnya ditiadakan karena Pemilu 2019 akan dilakukan secara serentak. Aturan mengenai pemilihan presiden dan pemilihan legislatif secara serentak ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Bagaimana mungkin ada presidential threshold karena pilpres dan pileg dilaksanakan secara serentak," kata Syafi'i di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/7) malam.

(Baca: Setya Novanto Sahkan UU Pemilu, Empat Fraksi Walk Out)

Konsekwensi dari aturan ambang batas 20%-25%, kata Syafii, membuat partai politik harus berkoalisi untuk dapat mencalonkan presiden pada Pemilu 2019. Padahal, kata Syafi'i,  tanpa harus berkoalisi pun partai boleh mencalonkan presiden.

Aturan presidential threshold 20%-25% disetujui menjadi bagian UU Pemilu secara aklamasi oleh 322 dari 539 anggota yang hadir dalam sidang.  Para anggota dewan ini berasal dari enam fraksi pendukung pemerintah yakni PDIP, Golkar, Hanura, NasDem, PPP dan PKB. 

Sementara itu fraksi di luar pemerintah, yakni Gerindra, PKS dan Demokrat yang sejak awal pembahasan RUU Pemilu menyuarakan ambang batas nol persen, menolak untuk mengambil keputusan.   

Tiga fraksi ini memilih walk out atau meninggalkan ruangan sidang. Fraksi PAN yang merasa tak terakomodir dalam opsi metode konversi suara juga melakukan aksi yang sama. 

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan sedang menyiapkan argumen konstitusional yang akan diajukan ke MK. Yusril berpendapat persyaratan  presidential threshold  dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.  

"Perjuangan secara politik oleh partai-partai yang menolak keberadaan presidential threshold, usai sudah. Kini menjadi tugas saya untuk menyusun argumen konstitusional," kata Yusril lewat pesan tertulis yang diterima Katadata.

(Baca: Alot Bahas Ambang Batas Presiden, Paripurna RUU Pemilu Hujan Interupsi)

Yusril mengacu pada Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45,  yang berbunyi: "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum ".

Lebih lanjut dalam Pasal 22E ayat 3 UUD 45 disebutkan pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.  “Sehingga pengusulan capres dan cawapres oleh partai politik peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD,” kata Yusril. 

Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini juga mengatakan, baik pemilihan umum secara serentak atau tidak, aturan ambang batas pencalonan presiden menjadi tak diperlukan.

“Apalagi pemilu serentak, perolehan kursi anggota DPRnya belum diketahui bagi masing-masing partai. Dengan memahami dua pasal UUD 45 seperti itu, maka tidak mungkin presidential threshold akan menjadi syarat bagi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata Yusril.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pemerintah siap jika ada pihak yang akan mengajukan judicial review terhadap UU Pemilu. Pemerintah, kata Tjahjo, yakin bahwa UU Pemilu telah diputuskan dengan dasar yang jelas dan sesuai aturan.

"Pemerintah dalam mengambil keputusan tetap dasarnya konstitusional sehingga tidak berasumsi yang lain-lain," kata Tjahjo.

(Baca: Fraksi DPR Saling Lobi soal Ambang Batas Presiden di RUU Pemilu)