Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membeberkan bagaimana teroris menggunakan aplikasi Telegram. Aplikasi percakapan ini digemari terorisme karena identitas pengguna tidak dapat terlacak oleh petugas.
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNP Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir mengatakan aplikasi Telegram ini berbeda dengan lainnya. “Kalau menurut pantauan yang kami lihat, Telegram ini tidak harus menyampaikan identitas yang lengkap,” kata dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (18/7).
(Baca: Mengaku Salah, Bos Telegram Tawarkan Tiga Solusi Agar Tak Diblokir)
Dengan tidak adanya kewajiban menyampaikan identitas itu membuat mereka sulit teridentifikasi. Padahal teroris ini menggunakan aplikasi untuk beberapa hal mulai dari komunikasi sesama anggota, membagikan informasi, melakukan rekruitmen hingga menyebarkan cara membuat bom.
Celah itu lah yang digunakan para terorisme melakukan aksinya karena berada di zona nyaman. “Kelompok terorisme ini tau tentang itu. Susah dideteksi. Jadi kami tahu anda berbicara di situ, tapi tidak tahu siapa dan posisi anda di mana,” ujar Abdul.
Untuk itu Abdul mendukung langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir aplikasi tersebut. Kalau hal itu tidak dilakukan makan akan berbahaya dan dampaknya ke keamanan seluruh Indonesia.
(Baca: Setelah Telegram, Jokowi Pastikan Tak Blokir Media Sosial Lain)
Sejak 14 Juli 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir layanan aplikasi percakapan Telegram di Indonesia. Langkah ini diambil setelah mengirim surat elektronik enam kali tanpa jawaban ke pihak Telegram.
Bos Telegram, Pavel Durov, mengakui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengirimkan daftar saluran publik dengan konten terkait terorisme di aplikasi tersebut. Namun, tim Telegram tidak dapat segera memproses dan memblokirnya.
(Baca: Indonesia Blokir Layanan Aplikasi Telegram)
Untuk memperbaiki situasi, Telegram segera memblokir semua saluran publik terkait teroris di Indonesia. Tidak hanya itu, tim Telegram juga mengirimkan e-mail ke Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membentuk saluran komunikasi langsung yang memungkinkan keduanya bekerja lebih efisien dalam mengidentifikasi dan menghalangi propaganda teroris di masa depan.