Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2013. Penetapan tersangka berdasarkan bukti permulaan yang dianggap cukup menjerat Novanto.
"Setelah mencermati fakta persidangan terhadap dua terdakwa, saudara Irman dan Sugiharto dalam kasus e-KTP, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers di KPK, Senin (17/7).
Agus mengatakan Novanto diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Setya Novanto diduga berperan dalam proses perencanaan maupun pembahasan proyek pengadaan e-KTP bersama dengan tersangka Andi Narogong dalam dua tahap yakni penganggaran dan proses pengadaan barang dan jasa.
"SN melalui AA diduga telah mengkondisikan pemenang pengadaan barang dan jasa," kata Agus.
Setya Novanto menjadi tersangka setelah KPK memeriksanya pada Jumat (14/7). Usai menjalani pemeriksaan, Novanto tidak banyak berkomentar. Dia mengatakan materi pemeriksaan seperti dalam persidangan kasus e-KTP. "Sama seperti fakta dalam persidangan saja," kata Novanto.
Penyidik, kata Novanto, hanya mengajukan sedikit pertanyaan. Namun, dia tak mau merinci berapa dan apa saja pertanyaan yang diajukan. "Cuma sedikit pertanyaan saja," kata dia.
(Baca: Usai Diperiksa Kasus Korupsi e-KTP, Setya Novanto Diteriaki Mahasiswa)
Di persidangan kasus korupsi e-KTP, jaksa penuntut umum KPK telah menyebut Setya Novanto turut serta dalam korupsi. Jaksa menyebutkan Novanto bekerjasama dengan terdakwa Irman dan Sugiarto untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun.
"Telah terjadi kerjasama yang erat dan sadar antara para terdakwa dengan Setya Novanto, Diah Anggaraini, Drajat Wisnu Setyawan, Isnu Edhi dan Andi Agustinus alias Andi Narogong," kata Ketua JPU Irene Putrie saat membacakan surat tuntutan untuk terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (22/6).
Dalam surat tuntutan, jaksa menyebut kedua terdakwa yakni Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen Kemendagri Sugiharto, berkomunikasi dengan Setya Novanto sejak usulan pembahasan proyek e-KTP di Komisi II DPR pada 2011.
Pengusaha yang berafiliasi dengan konsorsium pemenang tender e-KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong mengajak para terdakwa bertemu dua kali dengan Setya Novanto yang ketika itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.
Pertemuan pertama berlangsung di Hotel Gran Melia, Jakarta sekitar pukul 06.00 yang dihadiri Irman, Sugiharto, Diah Anggraini (eks Sekjen Kemendagri), Drajat Wisnu (ketua lelang proyek), dan Isnu Edhi (ketua konsorsium PNRI). Dalam pertemuan itu Setya Novanto menyampaikan dukungan proyek e-KTP.
(Baca: Jadi Saksi di Pengadilan, Setya Bantah Mendalangi Korupsi Proyek e-KTP)
Beberapa hari kemudian digelar pertemuan antara Irman dengan Andi Agustinus di ruang kerja Setya Novanto di lantai 12 Gedung DPR. Saat pertemuan itu, Andi menanyakan kepastian anggaran proyek e-KTP agar Irman dapat melakukan persiapan. Setya Novanto ketika itu menjawab, "Ini sedang kami koordinasikan perkembangannya, nanti kami hubungi Andi."
Setelah proyek berjalan, Andi menyerahkan uang kepada Setya Novanto selama empat tahap. Pembayaran tiga kali pada 2011 dan satu kali pembayaran pada 2012. Uang diberikan kepada Novanto dari Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana, melalui Andi. PT Quadra Solution merupakan perusahaan konsorsium e-KTP.
Jaksa juga menyatakan para saksi menyebutkan nama Novanto ketika pada Mei 2012 Anang tak bersedia memberikan uang yang membuat Andi marah. "Kalau begini saya malu dengan Setya Novanto, kemana muka saya dibuang kalau hanya sampai di sini sudah berhenti."
Dengan beragam fakta tersebut, jaksa berkeyakinan Setya Novanto terlibat dalam perencanaan korupsi. Jaksa Irene mengatakan pertemuan di Hotel Gran Melia, merupakan perbuatan permulaan untuk mewujudkan delik, karena pada dasarnya setiap orang yang hadir dalam pertemuan tersebut menyadari bertentangan dengan hukum.
"Terlebih pertemuan di luar jam kerja yakni pukul 06.00 serta adanya upaya dilakukan Setya Novanto untuk menghilangkan fakta dengan memerintahkan Diah Anggraini agar menyampaikan pesan kepada terdakwa satu (Irman) jika ditanya oleh penyidik KPK agar tidak menjawab mengenal Setya Novanto," kata Irene membacakan surat tuntutan.
(Baca: Jaksa Jelaskan Fakta Keterlibatan Setya Novanto dalam Korupsi e-KTP)