Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan yang saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tak memuat aturan pidana yang tegas dan dianggap banyak celah yang berdampak negatif pada penegakan hukum.
"Aturan penegakkan hukumnya hanya pidana sederhana dan sanksi administrasi," kata Direktur Pengaduan Pengawasan dan Pengenaan Sanksi Administrasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rossa Vivien Ratnawati kepada Katadata, di Jakarta, Selasa (20/6).
Aturan hukum pidana dalam RUU Perkelapasawitan lebih ringan dibanding Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Tidak ada hukuman (penjara) minimal pada RUU Perkelapasawitan," kata Vivien. Vivien mengatakan sanksi administratif tidak dapat diharapkan memberi efek jera untuk mencegah terjadi pelanggaran hukum yang lebih luas.
(Baca: Jelang Lebaran, Stok Minyak Sawit Melorot di Bawah 1 Juta Ton)
Vivien juga menyoroti RUU yang tidak mengatur sama sekali tentang masalah perdata padahal konflik hak guna usaha (HGU) di wilayah hutan sering terjadi. Masyarakat yang menderita kerugian dalam sengketa lahan dengan industri sawit tidak terakomodir dalam RUU Perkelapasawitan, sehingga tidak akan mendapat ganti rugi.
Di samping itu, RUU Perkelapasawitan, dianggap tidak punya kendali terhadap perizinan budidaya, dagang, dan usaha kelapa sawit karena diserahkan kepada sektor pertanian, perdagangan, dan perindustrian. Tidak adanya kendali terhadap perizinan dikhawatirkan membuat sistem pengawasannya tidak jelas dan membuat praktik tidak beraturan.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada Rimawan Pradiptyo menyatakan kritik yang sama dengan materi RUU Perkelapasawitan. Aturan penegakan hukum yang lemah akan memicu penyelewengan praktik alih fungsi hutan yang sering terjadi di Indonesia.
(Baca: KPK Diminta Segera Selidiki Dugaan Korupsi Dana Sawit)
"Di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang paling besar melakukan alih fungsi hutan," jelas Rimawan pada kesempatan yang sama. Dalam periode 1990 sampai 2015, telah terjadi alih fungsi hutan sebesar 275.350 kilometer persegi.
Peningkatan lahan kelapa sawit terekam dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang meningkat sejak 2000 sampai 2015. Lebih lanjut lagi, kata Rimawan, pada 2016 luas lahan kelapa sawit meningkat ke angka 15,7 juta hektare dari 11,3 juta hektare pada 2015.
"RUU Perkelapasawitan tidak perlu disahkan, isinya tidak berbeda dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian," kata Rimawan.