Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar dikabarkan kembali tersandung masalah. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), Energi Watch Indonesia (EWI), melaporkan Arcandra ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan penyimpangan kontraknya sebagai konsultan perorangan dengan anak usaha PT Pertamina (Persero).
Direktur Eksekutif EWI Ferdinand Hutahaean menyatakan telah melaporkan Arcandra ke KPK pada Senin (27/2) siang. Alasannya, kontrak yang ditandatangani Arcandra dengan PT Pertamina EP pada 21 November 2013 senilai US$ 477.500 mengandung banyak kejanggalan. Kontrak itu terkait jasa Arcandra selaku konsultan ahli dan penasihat proyek Offshore Platform Poleng dan L-Parigi milik Pertamina EP.
“Patut diduga (kontrak itu) berujung pada dugaan perbuatan pidana umum dan pidana korupsi serta pidana perpajakan,” kata Ferdinand di Jakarta, Senin (27/2).
Ia menjelaskan, kontrak yang seharusnya berakhir pada 7 Oktober 2015 mengalami amendemen perubahan kontrak sebanyak tiga kali. Amendemen I pada 8 Mei 2015 terkait penambahan lingkup pekerjaan sehingga nilai kontrak menjadi US$ 497.500.
Amendemen kedua pada 3 November 2015 tentang perpanjangan waktu pelaksanaan akibat mundurnya pelaksanaan survei dan inspeksi untuk lapangan L-Parigi dan Poleng sehingga waktu pelaksanaannya hingga 6 Desember 2016. Amendemen ketiga dilakukan pada 6 Juni 2016 tentang perubahan tata cara pembayaran, perubahan kurs dan perubahan rekening bank dari Bank of America atas nama Arcandra kepada rekening atas nama Fauline Ye Tahar di Bank CIMB Niaga.
Menurut Ferdinand, ada tiga jenis pidana yang terjadi dalam tiga kontrak tersebut, yaitu pidana umum dan pidana korupsi dan pidana pajak. Pertama, pidana umum karena pencantuman identitas Arcandra di dalam kontrak sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) pemegang paspor nomor A0533785 yang bermukim di Amerika Serikat (AS).
Padahal, Ferdinand menyatakan, Arcandra terbukti telah menjadi warga negara AS sejak 2012 dengan nomor paspor 493081973. Hal ini pula yang mengakibatkan Arcandra diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo dari jabatan Menteri ESDM pada Agustus tahun lalu.
Atas dasar itu, Ferdinand menduga Arcandra telah melakukan kebohongan dengan memberikan informasi dan dokumen yang tidak sah terkait dokumen kewarganegaraannya. Hal ini berakibat hukum berupa tidak sahnya kontrak tersebut.
Kedua, dugaan pidana korupsi terkait realisasi pekerjaan yang dilaksanakan fiktif. Kontrak mengatur waktu kerja yaitu di Jakarta adalah delapan jam dari pukul 07.00 atau 08.00 WIB sampai dengan 16.00 atau 17.00 WIB. Artinya, penasihat harus berada setiap hari di Indonesia pada jam kerja karena hitungan pembayaran dibayarkan sesuai jam kerja.
Ferdinand mengatakan, selama masa kontrak itu, Arcandra yang bermukim di AS tidak pernah tinggal di Indonesia pada periode kontrak selama 239 hari kerja. “Dengan demikian patut diduga ada laporan kerja yang tidak sesuai realita atau fiktif,” ujar dia.
Selain itu dalam laporan internal audit Pertamina EP bertanggal 23 Desember 2016 menyatakan, masih ada pekerjaan yang belum selesai. Pekerjaan tersebut adalah survei dan inspeksi jaringan pipa, padahal pembayaran sudah dilakukan 100 persen.
Ketiga, dugaan pidana pajak. Di dalam kontrak dinyatakan Arcandra sebagai WNI namun patut diduga tidak memiliki NPWP dan pajaknya diberlakukan mengikuti ketentuan subjek pajak luar negeri atau mengikuti Tax Treaty antara Indonesia dengan Amerika.
Hingga berita ini ditulis, Arcandra belum berkomentar mengenai laporan dan tuduhan tersebut. Ia belum membalas pesan singkat (SMS) dan pesan instan lewat Whatsapp yang dikirimkan Katadata. Begitu juga dengan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.