Kebijakan pajak terkait tanah menganggur alias idle makin terang. Rencananya, pemerintah bakal menerapkan tiga skema pajak secara bertahap. Payung hukum untuk penerapan skema pertama disebut-sebut bakal terbit satu atau dua bulan ke depan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjabarkan tiga skema yang dimaksud yakni pajak progresif atas kepemilikan tanah, pajak atas keuntungan penjualan tanah, dan pajak atas lahan tidak produktif. (Baca juga: Terancam Pajak, Pengembang Minta Batasan Kategori Lahan ‘Nganggur’)
Pada skema pertama, pemerintah bakal memberlakukan tarif pajak bertingkat untuk kepemilikan tanah kedua, ketiga, dan seterusnya. Pajak final progresif ini merupakan pengembangan dari pajak penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah/bangunan yang dikenakan atas nilai transaksi.
Skema kedua, pajak atas keuntungan penjualan tanah (capital gain tax), dipungut dari selisih antara harga jual dan harga perolehan atau harga beli. Sebagai gambaran, bila tanah dibeli dengan harga Rp 100 juta kemudian dijual seharga Rp 500 juta, maka ada selisih sebesar Rp 400 juta. Nilai selisih inilah yang akan dipajaki oleh pemerintah.
“Memang harus pada waktu transaksi dikenakannya (pajak). Artinya saat jual beli. Tapi itu akan buat dia (pemilik tanah) berpikir, mau jual atau enggak? Dia akan tahu bayar pajaknya berapa kalau disimpan saja (tanahnya),” kata Darmin di Gedung Kemenko Perekonomian, Kamis malam (2/2).
Terakhir, skema ketiga, pengenaan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized asset tax). Pemerintah bakal mengenakan pajak pada perusahaan atau pribadi yang memiliki tanah secara luas, tanpa memiliki perencanaan yang jelas. Tanah-tanah tersebut bakal dikenakan pajak bank tanah (land bank). (Baca juga: Terancam Pajak, Pengembang Minta Batasan Kategori Lahan ‘Nganggur’)
Rencananya, pemerintah bakal menerbitkan skema pajak progresif terlebih dahulu, sedangkan skema lainnya menyusul. Namun, pemerintah bakal membuat ketentuan agar dalam jangka waktu tertentu, ketiga skema tersebut bisa diterapkan secara kumulatif. (Baca juga: Menteri Agraria: Tanah 'Nganggur' Milik Negara Akan Dibuat Rumah Murah)
Rencana pemerintah tersebut ditanggapi positif Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa mengerem cepatnya laju kenaikan harga tanah. “Sekarang ini, (harga) tanah naiknya berlebihan nanti bisa menimbulkan bubble dan colaps. Ini (kebijakan) bisa mencegah itu. Bukan berarti harga tanah enggak naik. Naik, tapi lebih wajar,” tutur dia.
Meski begitu, Anton menilai perlunya perbaikan sistem data perpajakan untuk bisa merealisasikan skema pajak atas keuntungan pada tanah menganggur. Tujuannya agar Direktorat Jenderal Pajak bisa mengawasi bersaran harga jual-beli tanah. Anton pun mengusulkan agar akta jual beli tanah terhubung dengan data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, penerapan pajak atas keuntungan lebih ideal karena dikenakan atas keuntungan sehingga lebih adil sesuai prinsip pajak. “Sebab dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis,” ujar dia.
Namun, seperti disinggung Anton, kelemahannya adalah ketersediaan basis data tentang harga perolehan tanah dan data kepemilikan. “Siapa sasarannya dan berapa nilai asetnya? Karena itu, perlu integrasi data kepemilikan dan data nilai tanah yang baik, sinergi antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan DJP,” kata Prastowo.
Di sisi lain, kelemahan skema pajak progresif adalah karena basisnya yang adalah transaksi penjualan atau pengalihan. Padahal, orang cenderung menghindari nilai pasar. “Maka tantangannya adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak Pengganti (NJOP) yang kontinu, sehingga mendekati harga pasar,” kata dia.