Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar dicurigai sengaja menunda putusan uji materi Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kecurigaan itu dinyatakan Ketua Umum Dewan Peternak Rakyat Nasional, Teguh Boediyana.
Teguh merupakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan ke Mahkamah Konstitusi pada 16 Oktober 2015 lalu. Proses persidangan berjalan hampir setahun dan selesai pada 12 Mei 2016, namun hingga kini putusan belum dibacakan.
Menurut Teguh, lamanya jeda tersebut dimanfaatkan oknum pebisnis agar bisa mengimpor hewan dari negara-negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku. "Kami baru paham mengapa hingga hari ini belum ada putusan," kata Teguh, Jumat 27 Januari 2017.
(Baca juga: Kabar Penangkapan Hakim MK, KPK Segera Beri Penjelasan)
Kini, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah mengagendakan sidang putusan terkait gugatan mereka pada pekan depan. "Kalau tidak ada OTT (Operasi Tangkap Tangan) mungkin tahun depan baru ada keputusan. Teguh merupakan satu dari enam pihak yang mengajukan uji materi.
Berdasarkan resume perkara, pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan aturan ternak berbasis zona (zona based) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014. Dalam peraturan ini, impor dapat dilakukan dari Negara yang belum sepenuhnya steril seperti India, asal produknya diambil dari zona atau kawasan bebas penyakit kuku dan mulut.
(Baca juga: Kementerian Pertanian Keluarkan Rekomendasi Impor 391.828 Ekor Sapi)
“Kami concern masalah penyakit ini adalah penyakit yang sangat mengerikan, Inggris 2001 pada saat outbreak ada 600 ribu ekor sapi yang harus dimusnahkan," kata Teguh.
Selain itu, pertimbangan bisnisnya adalah karena harga daging kerbau dari India sangat murah yakni Rp 65 ribu per kilogram. “Ini bisa menyebabkan distorsi pasar, peternak bisa rugi,” kata Teguh.
Sebelum peraturan ini berlaku, impor ternak Indonesia menggunakan basis Negara, di mana impor hanya dapat dilakukan dari Negara bebas penyakit kuku dan mulut seperti Australia dan Selandia Baru yang harga dagingnya lebih mahal.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Patrialis di Mall Grand Indonesia pada Rabu (25/1) malam lalu. Ia diduga menerima suap sebesar US$ 20 ribu dan Sin$ 200 ribu atau sekitar Rp 2 miliar dari seorang pengusaha, Basuki Hariman.
(Baca juga: Sentil Kasus Emirsyah, Jokowi Ingatkan Direksi BUMN Berhati-hati)
Ia pun membantahnya. "Saya mengatakan saya hari ini dizalimi. Karena saya tidak pernah terima satu rupiah pun dari Pak Basuki," kata Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu seperti dikutip berbagai media usai pemeriksaan, Jumat dini hari tadi.
KPK menetapkan empat tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah Patrialis Akbar, Basuki Hariman dan sekretarisnya Ng Fenny, serta Kamaludin yang diduga menjadi perantara.
Basuki dan Ng Fenny sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Patrialis dan Kamaludin sebagai penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.