Skema gross split memungkinkan para kontraktor minyak dan gas bumi (migas) memperoleh bagi hasil dengan besaran yang berbeda-beda. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan setidaknya lima kriteria dalam menentukan besaran bagi hasil dengan skema baru tersebut.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, kriteria pertama adalah besaran reservoir migas. Kedua, lokasi proyeknya apakah termasuk daerah terpencil atau tidak. Ketiga, kondisi lapangannya, apakah marginal atau tidak.

Keempat, tingkat kesulitan berdasarkan kondisi geologis. Kelima, jenis blok migas tersebut, yaitu blok konvensional atau nonkonvensional dan penggunaan teknologi. “Ini masuk dari split gross yang kami tentukan,” kata Arcandra di Jakarta, Selasa (6/12).  (Baca: Skema Kontrak Baru Belum Bisa Kembangkan Migas Nonkonvensional)

Dengan skema ini, pemerintah mengklaim kontraktor sebenarnya mendapat keuntungan karena bisa lebih efisien dalam biaya operasionalnya. Di sisi lain, pemerintah tidak perlu lagi dibebankan dengan adanya cost recovery atau penggantian biaya operasional hulu migas. Sebab, dalam satu-dua tahun terakhir, penyimpangan cost recovery kerap berbuntut kasus hukum ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meski tidak ada cost recovery, menurut Arcandra, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih bisa mengawasi kegiatan kontraktor migas. “Misalnya mau diapakan suatu lapangan, tentunya pemerintah masih bisa kontrol," kata dia.

(Baca: Skema Baru Kontrak Migas Bisa Mengancam Ketahanan Energi)

Namun, Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widya Yudha meminta agar pemerintah mengkaji ulang penerapan skema bagi hasil gross split. Sebab, skema ini dikhawatirkan bisa berbenturan dengan semangat kedaulatan energi yang tertuang pada Pasal 33  UUD Tahun 1945. "Kami minta kajian supaya tidak melanggar."

Ia menilai, skema gross split ini meminimalkan pengawasan negara terhadap kontraktor, terutama dalam proses pengadaan operasional migas. Hal ini dapat mengganggu upaya memperbesar Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Mengacu data SKK Migas, TKDN di sektor hulu migas sejak Januari hingga Oktober lalu baru mencapai 49,9 persen. Angka ini lebih rendah dibanding tahun lalu yang sebesar 68 persen. (Baca: Penggunaan Komponen Dalam Negeri di Hulu Migas Turun)

Satya menambahkan, meski skema baru kontrak itu tidak lagi menggunakan cost recovery, bukan berarti akan menguntungkan negara. Skema ini baru bisa menguntungkan jika bagi hasil untuk negara minimal 50 persen.