Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto melihat peluang kenaikan harga minyak dunia pada tahun depan. Namun, kenaikan tersebut kemungkinan tidak akan terlalu besar dan melebihi US$ 60 per barel.
Optimisme itu berdasarkan beberapa faktor dalam meramalkan harga minyak dunia. Pertama, produksi minyak dunia. Kedua, permintaan dunia. Ketiga, risiko politik. “Tapi saya tentu tidak berani mengatakan bahwa ini berarti kembali ke harga era sebelum 2015,” ujar Dwi di Jakarta, Selasa (29/11).
(Baca: Kebijakan Harga Minyak Dikritik Jelang Pertemuan OPEC)
Namun, Dwi masih menyimpan pandangan pesimistis. Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) memang telah sepakat mengurangi produksi minyak antara 1-2 persen. Rincian bentuk kesepakatan pengurangan produksi tersebut baru akan dibicarakan pada pertemuan OPEC, 30 November mendatang. Presiden Rusia Vladimir Putin juga setuju mengurangi produksi minyak mereka.
Namun, menurut Dwi, hal itu tidaklah cukup sebagai jaminan kenaikan harga minyak. Salah satu masalah yang sensitif adalah bagaimana merumuskan jatah pemotongan produksi setiap anggota OPEC. Sebab, hal ini menyangkut situasi politik dan ekonomi masing-masing anggotanya.
Sebaliknya, Dwi mendapat informasi bahwa Irak dan Venezuela sudah menyatakan keberatannya terhadap rencana pemotongan produksi itu. Belum lama ini, Managing Director dari National Iranian Oil Co Ali Kandor terang-terangan menolak perhitungan produksi minyak negaranya. Padahal, angka tersebut hendak dijadikan dasar perhitungan produksi minyak.
Alhasil, Dwi berpandangan, sulit mengharapkan harga minyak dunia di tahun mendatang akan naik melebihi US$ 60 per barel selama OPEC tidak bisa mengambil keputusan pengurangan produksi dan disepakati oleh para anggotanya. “Secara sederhana bisa dikatakan, bahwa naik dan turunnya tidak akan keluar dari angka US$ 60 ini,” ujar dia.
(Baca: Pemerintah Wajibkan Kontraktor Pasang Alat Penghitung Produksi Minyak)
Sementara itu, situasi politik global juga tidak pasti. Meskipun secara garis besar sikap Presiden AS terpilih Donald Trump sudah bisa dipahami, kebijakan luar negeri di bidang keamanan dan ekonomi baru diketahui setelah dilantik menjadi presiden pada Januari 2017.
Di bagian lain dunia, masih ada ancaman ISIS di Irak. Kemudian situasi dalam negeri di Libya, Syria, dan Yaman hingga sekarang masih tidak stabil serta punya potensi kuat untuk menjadi potensi besar ketidakstabilan kawasan.
Karena berada di wilayah sensitif Timur Tengah, mau tidak mau kondisi tersebut mempengaruhi harga minyak dunia. Sementara itu, masih ada ancaman keselamatan pengangkutan minyak di kawasan Bab-el-Mandeb, Teluk Aden, dan tanduk Afrika. Pembajakan atau penyerangan terhadap satu kapal pengangkut minyak bisa menyulut kenaikan harga yang tak terkendali.
Di luar ketidakpastian harga minyak dunia, Dwi tetap optimistis terhadap kondisi Indonesia. Kenaikan harga minyak yang moderat pada satu sisi tidak akan menyebabkan kegaduhan pada pertumbuhan dunia yang berpengaruh pada ekspor. Namun, di sisi lain, dapat tetap menghidupkan optimisme bisnis di industri minyak dan gas dalam negeri. “Ini penting sekali."
Faktor lain yang menumbuhkan harapan di situasi ketidakpastian dunia adalah kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla yang stabil tentu merupakan faktor positif ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibanding banyak negara maju lain. (Baca: Investasi Hulu Migas Semester I-2016 Turun 27 Persen)
"Kekurangan pasti ada, tetapi di tengah keseimbangan harga minyak yang baru di tahun 2017 mendatang kita optimistis melihat masa depan yang cerah," ujar Dwi.