Sayangnya, Syamsu masih belum mau mengatakan besaran porsi bagi hasil minyak dan gas bumi dalam kontrak tersebut. Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Tunggal pernah menyebutkan Pertamina akan mendapat bagi hasil minyak sebesar 40 persen, dan sisanya bagian negara. Angka ini lebih besar dari kontrak biasanya yang hanya 30 persen menjadi bagian kontraktor.

Faktor lain yang menyebabkan penandatangan kontrak Blok East Natuna tertunda adalah terkait kepastian regulasi. Kontrak ini menunggu revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 mengenai cost recovery atau penggantian biaya operasi dan Pajak Penghasilan di hulu migas. Sekarang revisi aturan ini telah selesai. Sehingga, kata Syamsu, seharusnya sudah tidak ada kendala lagi.

Mengenai kapan penandatanganan kontraknya akan dilakukan, Pertamina menyerahkan keputusan ini kepada Kementerian ESDM. Sebenarnya pemerintah juga berharap kontrak Blok East Natuna bisa segera rampung. Apalagi blok migas ini juga sangat penting untuk  mendukung pertahanan negara, karena lokasinya berada di wilayah perbatasan.

“Pertamina siap November, bahkan dari Agustus. Namun, pemerintah juga harus mempertimbangkan dua anggota konsorsium lain (ExxonMobil dan PTT EP Thailand),” ujar Syamsu.

(Baca: Pemerintah Rampungkan Revisi Aturan Cost Recovery Industri Migas)

Terkait dengan hal ini, manajemen ExxonMobil masih belum bisa berkomentar. Hingga berita diturunkan, Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto belum membalas pesan yang dikirim Katadata melalui Whatsapp.

Halaman: