Pemerintah akan merealisasikan rencananya merelaksasi aturan ekspor mineral mentah tanpa melalui proses pengolahan dan pemurnian. Namun, tidak semua jenis mineral yang akan diperbolehkan ekspor. Pemerintah hanya akan menetapkan satu jenis saja, yakni bijih tembaga.

Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) memang melarang ekspor mineral mentah. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2015 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri. Pelarangan ekspor ini merupakan upaya hilirisasi sektor pertambangan.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan pelarangan ekspor mineral selama ini belum berhasil meningkatkan hilirisasi tembaga. Pembangunan smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat di dalam negeri ternyata tidak berkembang. (Baca: Kementerian Energi Tagih Piutang Royalti 5 Perusahaan Batubara)

Pemerintah sebenarnya telah memberikan insentif berupa perpanjangan waktu membangun smelter sampai 2017. Insentif ini masih bisa diperpanjang waktunya jika pembangunannya belum selesai dalam kurun waktu tersebut. "Kurun waktu perpanjangannya masih dibahas, termasuk kuota dan pajak ekspornya," kata Gusti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Rabu (2/11).

Menurutnya relaksasi aturan ekspor tambang ini hanya akan diberlakukan pada komoditas tembaga. Sementara jenis komoditas mineral mentah lainnya seperti nikel atau bauksit kemungkinan tidak akan dibuka keran ekspornya. Alasannya, komoditas ini dinilai masih menguntungkan jika diolah di dalam negeri. Berbeda tembaga yang dianggap tidak memiliki nilai tambah, jika diolah dalam negeri. 

Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2015 ada 12 komoditas yang harus diolah dan dimurnikan terlebih dulu sebelum diekspor. Selain tembaga ada nikel, bauksit, besi, timah, mangan, timbal dan seng, emas, perak, kromium, zirkonium dan antimon.

Selain berencana membuka ekspor tembaga, pemerintah juga akan mengkaji ulang ketentuan mengenai uang jaminan yang harus disetor, sebagai komitmen perusahaan membangun smelter. Komitmen ini merupakan syarat perusahaan bisa mendapatkan izin ekspor.

Menurut Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno hal itu tidak boleh terjadi lagi karena memberatkan pengusaha. Dia mencontohkan pada Februari lalu, pemerintah telah meminta PT Freport Indonesia menyetor uang jaminan pembangunan smelter senilai US$ 530 juta.

Namun, Freeport Indonesia tidak juga menyetorkan uang tersebut. Alasannya perusahaan ini kesulitan mendapatkan dana, apalagi dengan kondisi harga komoditas yang sedang rendah. Hal ini dinilai memberatkan perusahaan tambang tersebut, yang mengaku tengah mengalami permasalahan finansial. (Baca: Belum Bayar US$ 530 Juta, Ekspor Freeport Dihentikan)

Fajar mengatakan pemberian izin ekspor ini harus berdasarkan kemajuan pembangunan fisik smelter. Pemerintah akan meningkatkan syarat pembangunan smelter untuk mendapatkan izin ekspor. Sehingga ada jaminan untuk itu. Kemajuan pembangunan fisik smelter ini  juga akan dikaitkan dengan bea keluar. "Pokoknya memastikan smelternya sudah jadi," kata dia. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara belum bisa memastikan tarif bea keluar (BK) yang akan diterapkan oleh pemerintah. "Nanti didiskusikan, detilnya  belum, tadi prinsipnya saja," kata dia usai rapat koordinasi terkait hasil tambang, Rabu (2/11).

Sebenarnya bea keluar sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Ada beberapa kriteria dalam aturan tersebut. Apabila kemajuan pembangunan atau serapan dana investasi smelter untuk komoditas mineral antara 0 hingga 7,5 persen maka bea keluar yang dibayarkan untuk ekspor konsentrat sebesar 7,5 persen.

Sedangkan jika realisasi perkembangan smelter antara 7,5 persen sampai 30 persen, bea keluarnya 5 persen. Tapi kalau pembangunan smelter lebih dari 30 persen, tidak dikenakan bea keluar. (Baca: KPK Ungkap Potensi Kerugian Negara Rp 46 Triliun di Sektor Energi)

Di tempat yang sama, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan pemerintah akan segera mengeluarkan payung hukum untuk ekspor tembaga. Aturan ini akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang Pelasanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Targetnya aturan itu rampung sebelum akhir tahun ini.