Begitu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan dua tahun lalu, Susi Pudjiastuti telah membuat sejumlah gebrakan. Satu di antaranya yang mengundang perhatian dunia yakni langkahnya yang kerap menenggelamkan kapal illegal asing.
Penenggelaman kapal merupakan bagian dari upaya Susi mengatasi illegal unreported and unregulated fishing (IUUF) atau dikenal dengan penangkapan ikan secara ilegal. Hasilnya, setelah dua tahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pertumbuhan sektor perikanan melebihi gerak ekonomi nasional. (Baca: Jokowi: Indonesia Rugi Rp 260 Triliun Akibat Pencurian Ikan).
Pada 2015, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) perikanan mencapai 8,37 persen. Angka tersebut merupakan yang tertinggi selama lima tahun, melebihi capaian 2011 sebesar 7,65 persen. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini juga mencapai Rp 250 miliar, padahal tahun-tahun sebelumnya terus menurun.
Hingga saat ini, kata Susi, perusahaan yang memiliki izin hanya 187 dari 1.132 kapal eks-asing yang diaudit. Sebanyak 374 kapal berasal dari Cina, 280 dari Thailand, dan 216 dari Taiwan. Kemudian, dari Jepang dan Filipina masing-masing 104 dan 98 kapal. Sejak 2014, sudah ada 151 kapal yang ditenggelamkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dari berkurangnya kapal asing ataupun lokal yang mencuri ikan, klorofil biomassa laut Indonesia meningkat. Efeknya, Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajikskan) menaikan rekomendasi tangkapan ikan yang boleh diambil dari 7,3 juta ton menjadi 9,9 juta ton. Angka tersebut terus meningkat dari awalnya hanya 4,5 juta.
“Kenaikan dua juta ton itu kalau dihitung nilainya bisa mencapai US$ 2 miliar,” kata Susi dalam diskusi bertajuk ‘Tantangan Reformasi Kelautan" yang diselenggarakan oleh Katadata bekerjasama dengan KBR dan Hukumonline di Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2016. (Baca juga: Ketemu Luhut, Pengusaha Ikan Minta Menteri Susi Rombak Aturan).
Susi meyakini jika kebijakan seperti ini dilakukan secara konsisten, potensi tangkapan ikan di laut Indonesia bisa mencapai 15,5 juta ton pada 2018. Karena itu, ia juga mengeluarkan kebijakan untuk mengehntikan semua alat tangkap yang merusak lingkungan seperti trole, cantrang, destractive fishing, bom, atau portas.
Dalam catatannya, PNBP yang meningkat ini karena ada upaya dari instansinya dalam menghitung kembali kapasitas kapal. Selama ini, kata dia, banyak perusahaan menyuap otoritas setempat untuk mengklaim kapalnya sebagai kapal kecil atau di bawah 30 gross ton (GT). Dengan begitu, kapal-kapal besar tersebut dapat kemudahan seperti subsidi bahan bakar dan memperluas jangkauan tangkapannya.
“Pada 2015, PNBP (sektor perikanan) rendah karena memang tidak saya pungut. Saya encourage masyarakat untuk mengukur ulang kapalnya, itu sebagai insentif,” ujar Susi. (Lihat pula: Susi Tuding Pejabat / Aparat di Balik Usul Asing Masuk Perikanan).
Sementara itu, ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo mengatakan ada pola yang terstruktur dari perusahaan untuk mendapat kemudahan semacam ini. Pola itu dilihat dari nilai rata-rata dan median ukuran kapal yang markdown hampir sama. Jika aturan ini diperketat akan meningkatkan PNBP dari sektor perikanan.
Menurut dia, dari sekitar Rp 250 miliar penerimaan negara bukan pajak, ada potensi naik 65 persen. “Ini masih bicara sekitar 2 ribua kapal yang diukur ulang, masih ada 16 ribu kapal lagi. Jadi (PNBP) bisa naik delapan kali,” kata Rimawan dalam acara yang sama. (Baca juga: Eksploitasi Masif, Populasi Ikan Kritis).