Rencana Menteri Luhut Impor Gas Disokong Berbagai Pihak

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
12/10/2016, 16.47 WIB

Rencana Pelaksana tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Panjaitan untuk membuka keran impor gas bumi mendapat dukungan berbagai pihak. Upaya ini dinilai sebagai langkah tepat untuk merealisasikan arahan Presiden Joko Widodo dalam menekan harga gas.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng pesimistis harga gas dalam negeri di sekitar US$ 6 per mmbtu. Dengan kondisi sekarang, paling tidak harga gas paling rendah di kisaran US$ 8 per mmbtu. (Baca: Beberapa Skenario Penurunan Harga Gas Versi Kementerian Energi).

Tapi, penurunan harga berpeluang tercapai melalui impor. “Dengan impor, kalau landed pricenya bisa sampai US$ 4 per mmbtu, bisa lebih murah lagi," kata Sommeng saat ditemui usai acara diskusi bulanan Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2016.

Sommeng tidak menampik ada beberapa sumur yang bisa menghasilkan harga gas di mulut tambang cukup rendah. Sumur tersebut adalah yang telah berumur tua dan memperoleh biaya pengembalian investasi (cost recovery) dengan rencana pengembangan lapangan atau plan of development sehingga harga gas hanya S$ 2 per mmbtu. Tapi sumur baru tidak bisa memiliki harga serendah itu.

Karenanya, dia mengapresiasi langkah Luhut yang membuka wacana impor gas. Untuk merealisasikan hal itu, pemerintah juga perlu merevisi peraturan-peraturan yang melarang pemerintah atau badan usaha untuk mengimpor gas. (Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas).

Selain Sommeng, peneliti dari Policy Center ILUNI Universitas Indonesia Ryad Chairil juga mendukung impor gas tersebut. "Jadi pemerintah impor saja. Karena dengan impor kan market bisa terpacu agar lebih stabil," ujar Ryad.

Senada dengan koleganya, Guru Besar Fakultas Teknik UI Widodo Wahyu Purwanto mengatakan penurunan harga gas yang diminta Jokowi sulit dilakukan. Untuk gas alam cair (LNG), biaya regasifikasi dan sebagainya bisa mencapai US$ 4 per mmbtu. Jika ditambah US$ 2 per mmbtu biaya di hulu dan biaya lain-lain, harga gas sampai ke konsumen sebesar US$ 6 per mmbtu menjadi tidak mungkin.

Namun upaya menurunkan harga dapat terbantu apabila pemerintah impor gas, terutama dari Malaysia dan Singapura yang lokasinya berdekatan dengan Indonesia. "Kalau kita kurang dan impor itu dibolehkan secara UU dan regulasi yang ada, lakukan," ujar Widodo.

Sebelumnya, wacana impor ini mengemuka setelah rapat terkait gas di kantor Kementerian Energi. Seusai rapat, Luhut mengatakan akan membuka opsi impor gas. Langkah ini diyakini dapat menekan harga komoditas tersebut.

Luhut lalu memberi ilustrasi. Gas di Indonesia bagian barat, seperti Aceh berasal dari lapangan di Papua sehingga harganya menjadi US$ 13 per mmbtu. Sebab, distribusi dari ujung timur ke Indonesia memakan biaya besar. Tapi, dengan kebijakan impor, harga gas kemungkinan bisa turun menjadi US$ 8 per mmbtu. Bahkan, bisa menjadi US$ 6 per mmbtu. 

Sementara itu, produksi gas di kawasan Indonesia Timur dapat diekspor. “Itu harus kita pikirkan. Kenapa tidak impor saja dari Malaysia, Brunei Darussalam, atau Timur Tengah sehingga lebih murah, misalnya US$ 3 sampai 4 per mmbtu,” kata Luhut. Demi memuluskan rencana itu, Kementerian Energi berencana membuat payung hukumnya. (Baca: Pemerintah Terbelah Menyikapi Rencana Impor Gas).

Namun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution belum sepakat dengan rencana itu, karena impor juga tidak menjamin harga gas bakal lebih murah. “Tidak ada opsi impor. Kenapa harus impor?” katanya.

Reporter: Miftah Ardhian