Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 mendapat sorotan investor. Aturan ini membahas biaya operasi yang dapat dikembalikan alias cost recovery dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi (migas). Beberapa poin yang akan ada di revisi dinilai tidak menarik bagi industri migas.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association Marjolijn Wajong mengatakan meski ada beberapa hal positif, tapi ada dua hingga tiga poin yang belum disepakati oleh pelaku industri migas. “Yang pemerintah tawarkan tidak membuat iklim investasi menarik. Karenanya kami akan bicara lagi,” kata Marjolijn di Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Jumat, 30 September 2016.

Menurut Marjolijn, seharusnya revisi aturan tersebut bisa membuat pelaku usaha tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, investor memiliki pilihan di tempat lain untuk menaruh duitnya jika memang Indonesia tidak menarik lagi. (Baca: Investasi di Blok Eksploitasi Turun 22 Persen dari Tahun Lalu)

Namun, dia belum menyampaikan seara detail poin yang masih mengganjal. Yang jelas, untuk menarik investasi di sektor hulu migas, setidaknya ada dua faktor yakni keekonomian dan ketaatan pada kontrak.

Mengenai masalah pajak, dalam aturan tersebut juga tidak semua dibebaskan. “Ada beberapa yang menurut mereka tidak bisa, misalnya retribusi daerah. Tapi mereka memang memberikan untuk eksplorasi,” ujar dia. (Baca: Cost Recovery Direvisi, Investasi Migas di Indonesia Selevel Malaysia).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Teguh Pamudji mengatakan pemerintah mencoba terbuka dalam penyusunan aturan tersebut. Misalnya, dengan meminta masukan dari pelaku industri. Namun dalam pertemuan tersebut memang belum ada titik temu. “Ada poin-poin yang perlu dibahas kembali. Jadi kami sepakat hari Rabu akan bicara lagi,” kata dia.

Poin yang belum disepakati salah satunya adalah masa peralihan. Menurut investor, kontrak yang sudah ditandatangani setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas sampai sebelum PP 79/2010 itu terbit masih menganut konsep assume and discharge.

Menurut Teguh, pelaku industri migas mempertanyakan apakah dalam revisi PP 79/2010 ini kontrak dengan prinsip tersebut masih berlaku. “Mereka minta penjelasan itu,” kata dia.

Dengan assume and discharge maka minyak dan gas bumi yang didapat kontraktor sudah bersih dan tidak perlu lagi membayar pajak tidak langsung. Sebaliknya, bagi hasil yang didapat pemerintah sudah termasuk pajak. (Baca: Asosiasi Migas Nilai Beleid Cost Recovery 2010 Biang Lesunya Investasi).

Wakil Kepala SKK Migas M.I Zikrullah juga mengatakan yang perlu dilakukan adalah menyelaraskan prinsip assume and discharge. “PP 79/2010 itu berlakunya bagaimana dan untuk kontrak yang mana,” ujar dia.