Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menghitung adanya potensi penurunan produksi siap jual (lifting) minyak terhadap 11 kontraktor migas andalan pemerintah. Kondisi tersebut menyebabkan target lifting minyak 2017 bakal lebih rendah dibandingkan tahun ini.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, penurunan lifting minyak disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi lapangan migas yang cenderung sudah tua. Kedua, harga minyak dunia yang rendah sehingga kontraktor migas mengurangi kegiatan produksinya. (Baca: Eksplorasi Minim, Cadangan Minyak Turun Hampir Empat Persen)

Ketiga, masa kontrak beberapa blok migas akan berakhir sehingga mengurangi kegiatannya. "Pengurangan kegiatan tersebut mempengaruhi laju penurunan produksi lapangan eksisting yang cenderung lebih besar dari tahun sebelumnya, serta mempengaruhi profil produksi jangka menengah," kata Amien dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (5/9). 

Salah satu kontraktor yang mengalami penurunan lifting adalah Chevron Indonesia di Blok Rokan. Tahun depan, blok ini diperkirakan hanya mampu mencapai lifting 228.900 barel per hari (bph). Padahal, produksinya tahun ini bisa mencapai 250.900 bph.

Dua penyebab penurunan lifting Blok Rokan adalah umur yang semakin tua dan penundaan pengembangan NDD Area 14. Presiden Direktur Chevron Indonesia Albert Simanjuntak mengatakan, laju penurunan produksi Blok Rokan diperkirakan makin melebar sebesar 11,6 persen, atau lebih tinggi dari laju rata-rata penurunan produksi tahuh ini sebesar 10,5 persen. 

Menurut Albert, Chevron mengebor sumur sekitar 400 hingga 500 sumur per tahun demi memanfaatkan momentum harga minyak dunia yang tinggi selama 5-6 tahun terakhir. Namun, sejak 2015 keekonomian lapangan menurun dan membuat pengembangan lapangan tidak ekonomis. "Rokan juga akan berakhir 2021, di mana keekonomian sumur lebih sulit," kata dia. (Baca: Jelang Pertemuan OPEC, Harga Minyak Indonesia Naik)

Ada juga blok migas yang mengalami penurunan alamiah seperti PT Pertamina EP Indonesia di seluruh wilayah kerjanya dari 87.700 bph menjadi 85 ribu bph. Selain itu, Blok South Natuna Sea B oleh ConocoPhillips Indonesia dari 19.300 bph menjadi 17.400 bph dan PC Ketapan II Ltd di Blok Ketapan dari 16.900 bph menjadi 15.200 bph.

Adapun penurunan produksi alamiah BOB Pertamina – Bumi Siak Pusako di Blok CPP dari 11.500 bph menjadi 10.500 bph dan PHE WMO West Madura dari 9.200 bph menjadi 8.100 bph.

Medco E&P Rimau di Blok Rimau juga menurun dari 9.000 bph menjadi 5.500 bph. Sedangkan produksi JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi di Blok Senoro Toili menurun dari 7.200 bph menjadi 6.700 bph.

Di sisi lain, produksi Total E&P Indonesie di Blok Mahakam turun dari 64.300 bph menjadi 52.800 bph akibat pengurangan kegiatan akibat kontrak berakhir. Begitu juga produksi VICO di Blok Sanga-Sanga turun dari 12.800 bph menjadi 8.200 bph.

Sebaliknya, ada juga kontraktor yang berpotensi mencetak peningkatan lifting minyak tahun depan, seperti Mobil Cepu Ltd di Blok Cepu dari 163.900 menjadi 165.000 bph. Selain itu, Cepu lifting CNOOC SES LTD di Blok Sout East Sumatera meningkat dari 31.600 bph menjadi 32.400 bph karena penambahan kegiatan kerja ulang dan perawatan sumur.

Lifting Blok East Kalimantan yang dioperatori Chevron Indonesia Company meningkat dari 15.200 bph ke 17.700 bph karena optimasi produksi. Kemudian Petrochina Internasional Jabung Ltd di Blok Jabung meningkat dari 13.500 bph menjadi 14.400 bph karena disetujui rencana pengembangan lapangan (POD) NEB UTAF ditambah Ramp Up POD SB-WB. (Baca: Pertamina Ajukan Proposal Blok East Kalimantan Akhir Agustus)

Sementara 70 KKKS Lainnya juga meningkat dari 69.600 bph menjadi 75.600. Penyebabnya mengalirnya Blok Husky, ENI Muara Bakau, POG dan Ramp Up beberapa POD. Sehingga secara total lifting 2017 turun menjadi 780.000 bph dari 820.000 bph.