Kementerian Keuangan masih belum sepakat dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai prinsip assume and discharge untuk pajak industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Hal ini terkait dengan rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan pajak penghasilan di bidang usaha hulu migas.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, prinsip assume and discharge alias bagi hasil bebas pajak tidak langsung harus selaras dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi (UU Migas). “Intinya kan UU migasnya seperti apa. Jadi nanti satu-satu kami buka. Pokoknya kami mendukung yang sekarang,” kata dia di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (29/8).
Tapi, Kementerian Keuangan mendukung jika pemungutan pajak tidak dilakukan selama masa eksplorasi migas. Alasannya adalah saat eksplorasi, ada kemungkinan kontraktor tidak berhasil menemukan minyak. Jadi, pemerintah tidak ingin menambahkan beban pungutan pajak kepada kontraktor migas. (Baca: Pemerintah Finalisasi Revisi Aturan Cost Recovery dan Pajak Hulu Migas)
Jadi, dengan begitu bisa menggairahkan kegiatan eksplorasi. Ketika eksploitasi, lifting atau produksi siap jual juga bisa meningkat. Saat masa eksploitasi itulah pemerintah akan memungut pajak.
Terkait cost recovery, Mardiasmo mengatakan harus mengacu pada kontrak. "Jangan sampai apa yang tidak boleh masuk cost recovery di dalam kontrak, tapi tetap dicantumkan. Itu nanti kalau tinggi kan dana bagi hasil jadi kecil,” ujar dia.
Mengenai adanya audit berlapis cost recovery, Mardiasmo mengatakan, tergantung bentuk auditnya. Harus ada titik temu antara hasil satu audit dengan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah audit kepada pemerintah yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sementara audit Badan Pemeriksa (BPK) untuk eksternal.
Kementerian Keuangan juga masih perlu membahas perubahan skema dari POD Basis menjadi Blok Basis. Dengan Blok Basis, selama dalam satu blok sudah ada yang berstatus produksi, lapangan lain yang masih berstatus eksplorasi bisa berubah statusnya menjadi produksi. “Kami lihat yang mana, yang menguntungkan kita semua. Jangan sampai lifting turun, cost recovery tinggi,” ujar dia. (Baca: Asosiasi Migas Nilai Beleid Cost Recovery 2010 Biang Lesunya Investasi)
Di tempat terpisah, Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, PP Nomor 79 tahun 2010 perlu direvisi karena sudah tidak relevan. Alasannya aturan itu dibuat saat ladang migas di Indonesia masih mudah untuk menghasilkan minyak.
Ladang migas di Indonesia yang saat ini bisa berproduksi rata-rata berada di wilayah yang sulit, seperti wilayah laut dalam atau wilayah terpencil. Alhasil, produksi migas menjadi semakin sulit dilakukan. Untuk itu kontraktor butuh tingkat pengembalian investasi (IRR) yang tinggi.
Luhut mengatakan dalam revisi ini diharapkan juga ada formula baru, sehingga tingkat pengembalian investasi di atas 15 persen. Formula itu masih dibahas dengan Kementerian Keuangan. (Baca: Revisi Aturan Cost Recovery Masih Terganjal Masalah Pajak)
Kewenangan saat ini yang berada di Kementerian Keuangan pun akan dikembalikan ke Kementerian ESDM. “Jadi di sini yang mengevaluasi ini sulit, kalau gitu kita kasih nanti pembagian sahamnya seperti ini,” kata dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (29/8).