Pasar minyak dunia kembali memusatkan perhatiannya kepada Amerika Serikat (AS). Sejumlah rig atau instalasi pengeboran minyak di negara itu mulai beroperasi lagi seiring kenaikan harga minyak hingga mencapai US$ 50 per barel.
Dalam laporan riset terbarunya, bank investasi Morgan Stanley menyatakan tren kembalinya jumlah rig yang digunakan akan terlihat dalam beberapa bulan mendatang. Pekan lalu, pengeboran di AS mulai dilakukan lagi dengan enam rig. Ini merupakan jumlah pengoperasi rig terbanyak sejak Desember tahun lalu, berdasarkan laporan Baker Hughes. (Baca: Permintaan Naik, Saudi Aramco Kerek Harga Minyak di Pasar Asia)
Padahal, jumlah minyak yang dihasilkan AS sempat turun hingga 500 ribu barel per hari karena pengoperasian rig terus menyusut sampai mencapai jumlah terendah sejak 2009. Kini, meskipun jumlah rig yang kembali beroperasi terus bertambah, tidak akan langsung terjadi setelah harga pulih. Ada jeda waktu tiga hingga empat bulan untuk mencapai jumlah normal pengoperasian rig. Hal ini disampaikan analis lembaga Morgan Stanley, Adam Longson.
Namun, kondisi ini menerbitkan pertanyaan baru lantaran pengoperasian rig akan menambah produksi sehingga berpotensi menekan kembali harga minyak. “Yang menjadi perhatian utama setelah harga berangsur naik adalah, apakah jumlah rig akan bertambah dalam beberapa pekan ke depan,” ujar seorang analis pasar dari IG Ltd. di Melbourne, Angus Nicholson, seperti dikutip Bloomberg, Senin (6/6).
Jika dalam tiga hingga empat pekan mendatang ada kenaikan jumlah rig, dia meramalkan, harga minyak bisa turun kembali menjadi US$ 40 per barel atau bahkan lebih rendah.
Beberapa pekan terakhir ini, harga minyak dunia memang terus merangkak naik setelah sempat terpuruk ke level terendah sebesar US$ 27 per barel pada awal 2016. Kini, Citigroup Inc. memprediksi harga minyak bisa mencapai US$ 50 hingga US$ 70 per barel. (Baca: Pacu Produksi, Saudi Aramco Prediksi Harga Minyak Pulih Akhir 2016)
Sebelumnya, Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menjelaskan, harga minyak harus melampaui US$ 50 per barel agar bisa mengembalikan pasokan minyak. Negara kerajaan tersebut tidak menentang adanya penambahan produksi minyak serpih, bahkan mendukungnya, sejauh tidak mengganggu keseimbangan pasar.
Kenaikan pasokan minyak serpih diharapkan mampu memperbaiki kondisi setelah adanya penurunan produksi di AS. Direktur Analisa Kebijakan Biro Sumber Daya Energi Amerika Serikat Richard Westerdale menyatakan, pengeboran sumur minyak yang belum selesai bisa dilanjutkan untuk mengembalikan produksi yang sempat hilang sebanyak 500 ribu barel per hari.
Energy Information Administration (EIA) memperkirakan produksi minyak di AS mencapai rata-rata 8,6 juta barel per hari tahun ini. Pada 2015, jumlah minyak yang dihasilkan negara itu sebesar 9,4 juta barel per hari. Padahal, per 27 Mei lalu, produksi merosot menjadi 8,47 juta barel per hari. Angka ini merupakan yang terendah sejak September 2014. (Baca: OPEC Tanpa Keputusan, Harga Minyak Tembus US$ 50 per Barel)