Kontraktor minyak dan gas bumi (migas) meminta pemerintah menjaga harga dan kualitas fasilitas produksi dan penyimpanan terapung atau Floating Production Storage and Offloading (FPSO) lokal. Ini terkait adanya kewajiban kontraktor harus menggunakan FPSO buatan dalam negeri.

FPSO merupakan fasiltas terapung untuk mengolah atau memisahkan minyak mentah, gas dan air dari sumur produksi. “Jangan lupa, FPSO itu milik negara menurut kesepakatan kontrak bagi hasil (PSC). Apabila kualitas di bawah standar, negara juga akhirnya yang dirugikan,” kata Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo) Sammy Hamzah kepada Katadata, Jumat (3/6). (Baca: Kontraktor Migas Khawatir Kewajiban FPSO Lokal Memicu Monopoli)

Sammy mengaku akan tetap mendukung kebijakan pemerintah mewajibkan kontraktor menggunakan FPSO local. Hanya saja, dia mengungkapkan ada beberapa catatan yang harus diperhatikan. Jika pemerintah mewajibkan kontraktor untuk membuat kapal FPSO di dalam negeri, maka kualitas dan kompetensi harus bisa memenuhi standar industri.

Selain itu, harga yang ditawarkan oleh industri dalam negeri juga harus bisa bersaing dengan kapal FPSO yang dibuat di luar negeri. Jika lebih mahal, bisa merugikan negara. Karena biaya pembuatan kapal FPSO akan diganti pemerintah melalui skema penggantian biaya operasi migas atau cost recovery. Kalau pemerintah gagal mengontrol harga, biaya penggantian dari pemerintah akan membengkak.

Sammy mengaku pihaknya belum mendengar rencana pemerintah tersebut. Dia pun tidak mengetahui apakah asosiasi industri migas atau Indonesia Petroleum Association (IPA) yang dia ikuti, sudah diminta memberi masukan oleh pemerintah terkait kebijakan ini. (Baca: Kontraktor Migas Akan Wajib Gunakan Kapal FPSO Buatan Lokal)

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan saat ini masih mengkaji rencana aturan mengenai kewajiban FPSO dibuat di dalam negeri. Dalam kajian tersebut, SKK Migas juga meminta beberapa pandangan dari kontraktor migas. 

Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas Rudianto Rimbono mengatakan kontraktor migas sudah menyampaikan tanggapannya mengenai rencana kebijakan tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada keputusan mengenai hal itu. “"Sedang kami pelajari respon dari kontraktor," kata dia kepada Katadata, Jumat (3/6). 

Rencana untuk mewajibkan KKKS menggunakan kapal FPSO dalam negeri ini sempat dikatakan sebelumnya oleh Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam seminar The Building of FPSO, di gedung SKK Migas, Jakarta, pada 11 Mei lalu. Amien mengatakan kapal-kapal FPSO yang awalnya direncanakan akan dibuat dan dikonversi di luar negeri, kini wajib untuk dibuat, dikonversi, dan dipelihara di dalam negeri.

Kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan kontribusi industri perkapalan nasional terhadap industri hulu migas. Selain memberi dukungan penuh terhadap pengembangan industri maritim di Indonesia, pemerintah berharap aturan ini berdampak positif terhadap upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor migas. (Baca: SKK Migas Minta Evaluasi Izin Penggunaan Kapal Asing Diperpanjang)

Dari data Kementerian Perindustrian, saat ini ada sebanyak 250 galangan kapal di Indonesia. Sekitar 70 di antaranya berlokasi di Batam, Riau. Lokasi ini dianggap strategis karena berdekatan dengan Singapura. Sementara pemerintah memiliki empat galangan, yakni PT IKI di Makasar, PT DOK Kota Bahari di Jakarta, PT PAL di Surabaya, dan PT DOK Perkapalan di Surabaya.