Minimnya penemuan sumber minyak dan gas bumi (migas) baru di dalam negeri, membuat cadangan sumber daya alam tersebut terus menurun. Mengatasi hal ini, pemerintah akan memberikan insentif kepada kontraktor, untuk memacu kegiatan eksplorasi.

Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan cadangan minyak dalam negeri selama kuartal I tahun ini hanya sebesar 7.018 juta tangki barel (MMSTB). Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 7.305 MMSTB. (Baca: Awal 2016, Cadangan Migas Nasional Bertambah 580 Juta Barel)

Tidak hanya minyak, cadangan gas juga mengalami penurunan. Pada kuartal I-2015 cadangan gas tercatat sebesar 151 triliun standar kaki kubik (TSCF). Namun, pada kuartal I-2016, cadangannya hanya tinggal 148 TSCF. “Cadangan migas memang turun, karena belum ada temuan-temuan besar,” kata Wiratmaja saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Selasa (26/4).

Wirat mengatakan terakhir temuan cadangan minyak terbesar yang paling terakhir di Indonesia adalah Blok Cepu. Cadangan ini pun ditemukan 15 tahun lalu. Padahal menurut para ahli geologi, Indonesia memiliki banyak cadangan migas besar yang belum dieksplorasi.

Minimnya eksplorasi terlihat dari  penurunan dalam pengeboran sumur eksplorasi. Menurut data Kementerian ESDM, tahun lalu hanya ada pengeboran 52 sumur yang menghasilkan 15 temuan cadangan baru. Padahal pada 2014 ada 83 sumur yang dibor dengan 25 temuan cadangan migas. Jumlah pengeboran 2015 semakin rendah bila dibandingkan rata-rata pengeboran 2011 sampai 2013 yang mencapai 104 sumur. Pada 2015 survei seismic 2 D dan 3 D juga hanya ada 7.281. Padahal tahun sebelumnya ada 14,414 survei. 

Masalahnya di tengah tren harga minyak yang rendah saat ini, kontraktor migas terkesan enggan melakukan banyak eksplorasi. Bahkan kontraktor malah semakin mengurangi kegiatan untuk mencari sumber-sumber migas baru. Perlu adanya insentif dari pemerintah agar kontraktor bersemangat melakukan eksplorasi.

Saat ini Kementerian ESDM menggodok beberapa insentif yang bisa diberikan kepada kontraktor. Ada beberapa insentif yang bisa diberikan, salah satunya memperpanjang jatah masa eksplorasi dari enam tahun menjadi 10 tahun. Selain itu, karena tren harga minyak rendah ini diperkirakan bisa mencapai lima tahun. Masa kontrak pengelolaan blok migasnya pun bisa ditambah lima tahun lagi. (Baca: Asosiasi Migas Berharap Insentif selama Harga Minyak Rendah)

Insentif lainnya adalah penghapusan seluruh pajak selama masa eksplorasi. Diantaranya pajak bumi dan bangunan  (PBB), pajak impor barang, dan pajak peralatan. Saat ini, pemerintah baru menghapus salah satunya, yakni PBB. Untuk pajak lainnya, Kementerian ESDM kata Wirat masih harus membicarakannya dengan Kementerian Keuangan hingga ke Presiden.

Ada juga insentif mengenai sistem bagi hasil dalam kontrak pengelolaan blok migas. Nantinya, akan ada opsi skema Dynamic Split atau Sliding Scale Revenue Over Cost. Dengan skema ini porsi bagi hasil yang diterima kontraktor akan berfluktuatif tergantung harga minyak atau produksi. Misalnya jika harga minyak rendah maka bagi hasil yang diperoleh kontraktor lebih besar. Begitu pula sebaliknya.  

Pemerintah akan memberikan insentif sistem penggantian biaya operasi  dari basis Plan of Development (PoD) menjadi country basis. Sebagai contoh, jika kontraktor memiliki blok yang sudah berproduksi di Kalimantan dan blok eksplorasi di Papua. Nantinya biaya eksplorasi yang sudah dikeluarkan di Papua bisa diganti dengan jatah hasil produksi milik pemerintah di Blok Kalimantan. (Baca: Total Waspadai Penurunan Produksi Blok Mahakam)

Wirat berharap sejumlah insentif ini bisa diberikan tahun ini. Sehingga, bukan hanya kegiatan eksplorasi yang meningkat, produksi pun akan berdampak sama. Dia memperkirakan insentif ini akan mendorong penambahan produksi sebanyak 700.000 barel per hari pada tahun 2025.

Namun jika insentif tidak diberikan, terutama pada kontraktor yang tengah melakukan kegiatan eksplorasi, maka produksi migas akan terus menurun. Saat ini, penurunan produksi mencapai 18 sampai 20 persen per tahun.  “Kalau eksplorasinya dilakukan dengan skema biasa atau business as usual, produksi akan turun terus,” ujarnya.

Reporter: Arnold Sirait