KATADATA - Suramnya industri minyak dan gas bumi (migas) di seluruh dunia, tak menyurutkan langkah Exxon Mobile Corp. untuk menghimpun pendanaan. Raksasa migas asal Amerika Serikat (AS) merilis obligasi senilai US$ 12 miliar atau sekitar Rp 162 triliun, yang merupakan penerbitan surat utang terbesar di sektor migas.
ExxonMobil membagi obligasi bernilai jumbo itu dalam delapan seri, yang semuanya ditawarkan dengan bunga di atas rata-rata bunga surat utang pemerintah AS. Seri terpanjang adalah 30 tahun dengan nilai US$ 2,5 miliar. Kuponnya sebesar 4,114 persen dengan imbal hasil (yield) 150 basis poin lebih tinggi dibanding obligasi pemerintah. Seperti dikutip Bloomberg dari seorang sumber, obligasi yang ditawarkan ExxonMobil ini lebih tinggi enam basis poin ketimbang rata-rata imbal hasil obligasi korporasi pada umumnya.
Sedangkan obligasi senilai US$ 2,5 miliar bertenor 10 tahun, dengan menawarkan bunga 3,043 persen Ini 130 basis poin lebih tinggi ketimbang bunga surat utang pemerintah dengan tenor yang sama. Menurut Bank of America Merrill Lynch, kupon itu masih lebih tinggi 48 basis poin ketimbang utang korporasi sejenis.
Dalam proposal obligasi yang disampaikan kepada otoritas bursa di Amerika Serikat (AS), Senin lalu (29/2), manajemen ExxonMobil menyatakan dana hasil obligasi itu akan digunakan untuk modal kerja, akuisisi, belanja modal, membayar utang, serta mendanai peluang bisnis lainnya.
(Baca: ExxonMobil Hanya Menanggung Utang Sebelum 2015)
Bukan tanpa sebab ExxonMobil menawarkan bunga lebih tinggi agar surat utang yang diterbitkannya itu laku terjual. Di tengah tren perlambatan ekonomi global dan rendahnya harga minyak dunia, investor tentu berpikir dua kali untuk berinvestasi di pasar obligasi. Kecuali, mendapatkan potensi imbal hasil yang tinggi. Apalagi, 25 Februari lalu, lembaga pemeringkatan internasional Moody's Investor Service telah menurunkan prospek kredit ExxonMobil dari "Stabil" menjadi "Negatif".
Moody's memperingatkan arus kas ExxonMobil terancam oleh anjloknya pasar minyak dunia. Padahal, perusahaan ini membutuhkan dana segar untuk membayar utang serta investasi baru. Tahun lalu, kas operasional ExxonMobil sebesar US$ 30,3 miliar yang hampir mencukupi untuk membiayai belanja modalnya. Masalahnya, mereka membutuhkan pinjaman baru untuk menutup pembayaran dividen senilai US$ 12,1 miliar pada 2015. Di sisi lain, utang ExxonMobil meningkat sekitar US$ 10 miliar dari akhir tahun 2014 menjadi US$ 35 miliar pada akhir tahun lalu.
(Baca: ExxonMobil Harus Lunasi Kewajiban sebelum “Hengkang” dari Aceh)
Selain membayar utang dan menutup biaya operasional, dana dari hasil penjualan obligasi itu bisa digunakan ExxonMobil untuk membiayai ekspansi usahanya. Apalagi, di tengah rendahnya harga minyak dunia, ini merupakan saat membeli aset dengan harga yang miring. Analis dari Bloomberg Intelligence, Spencer Cutter, menyatakan penawaran surat utang ini menjadi pertanda ExxonMobil akan "mulai mengambil aset-aset bagus dengan diskon yang besar" serta "mengambil keuntungan dari penurunan harga minyak dan mulai melakukan belanja".
"Jika Anda di pihak ExxonMobil, Anda harus melihat seluruh kekacauan di sektor energi belakangan ini, dan merasa seperti seorang bocah di toko permen," ujarnya.
Manajer finansial di Columbia Threadneedle Investments, Timothy Doubek, juga melihat peluang ExxonMobil menghimpun aset-aset migas dari dana hasil obligasi. "Kami sangat terkejut ternyata mereka (Exxon) tidak melakukan banyak akuisisi," katanya. "Anda harus terus bergerak, tidak cukup hanya melakukan hal-hal kecil."