KATADATA - Rendahnya harga minyak dunia telah mengancam kelangsungan banyak proyek minyak dan gas bumi (migas). Nasib ini juga menimpa megaproyek laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) milik Chevron Indonesia Company. Perusahaan migas asal Amerika Serikat (AS) itu berencana menunda pengembangan proyek IDD pada dua lapangan di Selat Makassar tersebut.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengungkapkan, baru-baru ini menerima permintaan dari Chevron untuk menunda pengembangan dua lapangan migasnya di Proyek IDD. Yaitu Lapangan Gehem dan Lapangan Gendalo di Selat Makassar. "Baru-baru pengajuannya (penundaan). Setelah ini kami pertimbangkan lagi," katanya di Jakarta, Senin malam (22/2).
Alasan penundaan tersebut adalah kondisi harga minyak yang masih rendah. Meski tidak mengetahui jangka waktu penundaannya, Wiratmaja memastikan Chevron tetap berkomitmen membangun Proyek IDD. "Tentunya menunggu harga minyak naik lagi," katanya.
Dia memahami bahwa IDD merupakan proyek laut dalam yang membutuhkan investasi besar. Apalagi, dua lapangan itu belum mengantongi persetujuan rencana pengembangan atau plan of development (PoD) dan belum memulai pembangunan konstruksinya. Sedangkan untuk proyek yang sudah memasuki tahap konstruksi, tetap berjalan. "(Lapangan) Bangka masih jalan," kata Wiratmaja.
(Baca: Lapangan Bangka IDD Milik Chevron Diperkirakan Berproduksi Juni)
Pada Desember tahun lalu, Katadata pernah memberitakan langkah Chevron membatalkan Proyek IDD. Padahal, dua bulan sebelumnya, di hadapan Presiden Joko Widodo, para petinggi perusahaan migas multinasional asal Amerika Serikat ini menyatakan komitmennnya untuk melanjutkan investasi di Indonesia, termasuk proyek IDD. Keputusan Chevron membatalkan proyek IDD disebut-sebut terkait dengan kebijakan banyak perusahaan migas internasional yang menunda atau membatalkan rencana pengembangan usahanya di berbagai negara, di tengah tren penurunan harga minyak dunia. Apalagi, pengembangan blok migas di laut dalam memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi sehingga kebutuhan pendanaannya juga besar.
Sekadar informasi, selain dua lapangan tersebut, Chevron juga memiliki lapangan Bangka. Pengembangan Lapangan Bangka sudah memasuki tahap konstruksi dan diharapkan bisa mulai berproduksi bulan Juni nanti. Lapangan ini bisa memproduksi gas sekitar 100 juta kaki kubik (mmscfd).
Berbeda dengan pengembangan Lapangan Gendalo dan Gehem yang masih terkatung-katung karena Chevron harus merevisi proposal PoD. Lapangan Gehem akan memproduksi gas sebesar 420 mmscfd, sedangkan Gendalo sebesar 700 mmscfd. Selain gas ada juga kondensat dari Gehem sebesar 25.000 barel kondensat per hari dan Gendalo 25.000 barel kondensat per hari. Rencananya gas alam hasil produksi dari proyek ini akan dijual untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor gas alam cair.
(Baca: SKK Migas: Proposal IDD Chevron Belum Matang)
Corporate Communication Manager Chevron Indonesia Doni Irawan tidak menanggapi secara jelas terhadap penundaan dua proyek di IDD itu. Ia hanya menyatakan, Chevron bersama para mitra kerjasamanya terus melakukan penyelarasan dan kerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan Lapangan Gehem dan Gendalo. Selain itu, dia menjelaskan dua lapangan itu merupakan bagian dari tahap kedua proyek IDD. "Sedangkan Lapangan Bangka merupakan tahap pertama proyek IDD yang sudah memperoleh persetujuan dari pemerintah," ujarnya kepada Katadata, Selasa (23/2).
(Baca: SKK Migas Minta Chevron Segera Perbaiki Proposal IDD)
Sementara itu, Deputi Pengendalian dan Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gunawan Sutadiwiria mengaku belum mengetahui permintaan Chevron untuk menunda proyek dua lapangan IDD. “Saya belum dapat infonya, nanti saya tanyakan,” katanya.
Proyek IDD ini termasuk salah satu proyek migas dengan nilai investasi besar saat ini, selain proyek Masela, Tangguh Train 3 dan Jangkrik. Proyek ini sebenarnya sudah mengantongi persetujuan pengembangan lapangan atau Plan of Development (PoD) pada 2008 dari SKK Migas. Namun, setelah tahap Front-End Engineering Design (FEED) tahun 2013, biaya yang dibutuhkan untuk proyek ini meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar US$ 7 miliar menjadi US$ 12 miliar.