KATADATA - Anjloknya harga minyak dunia ternyata tidak hanya berdampak ke kontraktor minyak dan gas bumi (migas). Industri penunjang migas juga ikut terpukul. Mereka kehilangan pesanan mengerjakan proyek migas karena tidak ada kontraktor yang melakukan kegiatan, baik ekplorasi maupun produksi.
Presiden PT Nusantara Energy Plant Indonesia Junaidi Elvis menyebut saat ini industri penunjang migas mulai mati suri. Untuk itu dia meminta pemerintah segera mengambil langkah untuk meminimalkan dampak harga minyak. Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah menurunkan suku bunga. Dia mengatakan salah satu kendala yang dirasakan industri saat ini adalah tingginya suku bunga. Suku bunga yang mencapai dua digit ini dapat mencekik para pelaku industri.
(Baca: Peringkat Utang Lima Negara Raksasa Produsen Minyak Turun)
Selain menurunkan suku bunga, pemerintah juga bisa mendorong peningkatan pemanfaatan kandungan lokal dalam industri penunjang migas. Saat ini, menurut Junaidi, hampir 90 persen industri penunjang dikuasai asing. “Kalau pemerintah tidak cepat mengambil antisipasi kami bisa gulung tikar,” di Gedung PT Bakrie Pipe Industries di Bekasi, Senin (22/2).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Energi dan Migas Bobby Gafur Umar juga mengeluhkan hal yang sama. Dia khawatir menurunnya harga minyak ini akan berlangsung lama. Ada tiga faktor yang membuat yakin harga minyak belum akan kembali pulih dalam waktu dekat. Pertama, kondisi perekonomian global yang terus menurun seperti Amerika Serikat, Eropa dan China. Fenomena tersebut membuat permintaan konsumsi minyak akan turun.
Kedua, negara Timur Tengah seperti Arab Saudi juga enggan mengurangi produksinya. Ketiga, ditemukan sumber energi yang murah yakni minyak serpih (shale oil) di Amerika Serikat. Adanya minyak serpih ini membuat impor minyak Amerika menurun. ”Ini pasti bisa berlanjut panjang,” ujar dia. (Baca: Banjir Pasokan, Harga Minyak Bisa Terus Turun Hingga Akhir Tahun)
Dengan harga minyak dunia yang saat ini berada dikisaran US$ 30 per barel, menurut dia tidak banyak negara yang bisa bertahan. Menurut data yang dia miliki, biaya produksi di beberapa negara seperti Brazil, Kanada dan Inggris masih berada di atas US$ 30 per barel. Hanya negara di Timur Tengah yang biaya produksinya masih di bawah itu, yakni Kuwait sekitar US$ 20 per barel dan Arab Saudi US$ 9 per barel.
Rendahnya harga minyak tersebut juga sudah berdampak ke Indonesia. Bahkan salah satu perusahaan migas terbesar di Indonesia yakni Chevron Indonesia mulai mengurangi karyawannya. Beberapa perusahaan migas juga mulai mengurangi biaya modalnya. Menurut dia, di industri migas saat ini terjadi penurunan biaya modal hingga 12 persen atau sekitar US$ 522 miliar. Hal ini juga menyebabkan seretnya proyek yang dikerjakan oleh industri penunjang migas.
(Baca: Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)
Dia mengatakan harga pipa dulu bisa jual US$ 1700 sampai 1800 per metric ton saat ini hanya dijual di angka US$ 600-700 per metric ton. Hal itu juga ikut mengurangi keuntungan dari industri penunjang migas. Industri penunjang migas pun mulai mencari bisnis lain. “Mulai cari kerjaan non oil and gas,” ujar dia.
Sementara Presiden Direktur PT Bakrie Pipe Industries Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan, perusahaannya mulai mengurangi belanja modalnya sejak tahun ini gara-gara pelemahan harga minyak dunia. Sekitar 65 persen bisnis perusahaannya juga beralih ke sektor nonmigas karena minimnya proyek di sektor migas. Target produksi pipa di perusahaannya menurun juga menurun dari tahun sebelumnya. Target produksi tahun ini 147.000 metrik ton sedangkan 2015 sebesar 180.000 metrik ton. Akibatnya ada 200 pekerja kontraktor yang tidak diperpanjang masa kerjanya tahun lalu.