KATADATA - PT Freeport Indonesia sampai saat ini belum memenuhi syarat izin ekspor yang diminta pemerintah. Padahal izin ekspor perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia itu berakhir kemarin. Akibatnya, anak usaha Freeport McMoran itu tidak bisa mengirim produk tambangnya ke luarnegeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mengatakan sampai saat ini Kementeriannya belum menerbitkan rekomendasi ekspor untuk Freeport Indonesia. Pasalnya, perusahaan itu belum memenuhi dua persyaratan yang diajukan pemerintah (Baca: Ekspor Tambang Freeport Terancam Dihentikan).
Pertama, Freeport mesti membayar bea keluar lima persen dari harga jual untuk setiap hasil tambang yang mereka kirim ke luar negeri. Selain itu Freeport juga harus membayar uang US$ 530 juta sebagai bukti keseriusan dalam membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter. “Belum dilengkapi persyaratannya. Bea cukai (yang menghentikan ekspor), bukan saya,” kata Bambang di Gedung Direktorat Jenderal Minerba, Jakarta, Jumat, 29 Januari 2016.
Menurutnya, persyaratan yang diajukan pemerintah tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Untuk memastikan hal tersebut, Kementerian Energi menggelar rapat dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Rapat ini juga dihadiri Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Teguh Pamudji dan Inspektur Jenderal Kementerian Energi Mochtar Husein. Rapat berlangsung tertutup. (Baca : Freeport Janji Mulai Bangun Smelter Pertengahan 2016).
Rapat tersebut, salah satunya, membahas syarat perpanjangan izin ekspor Freeport terutama mengenai uang jaminan sebesar US$ 530 juta. Di sinilah, kata Bambang, pentingnya pelibatan kepolisian dan kejaksaan, yakni agar kedua instansi itu -juga BPKP- mengetahui proses perpanjangan izin ekspor ini. Ia mengklaim ketiga lembaga yang mengikuti rapat menilai tidak ada pelanggaran hukum apabila Kementerian Energi meminta dana kompensasi pembangunan smelter sebesar US$ 530 juta.
Uang jaminan itu merupakan bentuk keseriusan Freeport membangun smelter. Jika mengacu Peraturan Menteri Energi Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, untuk mendapatkan izin ekspor maka kemajuan pembangunan smelter paling sedikit 60 persen dari target setiap enam bulan. Namun sampai saat ini pembangunan smelter Freeport baru mencapai 14 persen. (Baca : Pemerintah Isyaratkan Beri Izin Ekspor Freeport)
Untuk itu, Bambang meminta Freeport memenuhi persyaratan yang diminta pemerintah jika ingin ekspornya terus berlangsung. “Suruh dia komen dulu. Sini ngomong mulu, kan tidak bagus,” ujar dia. Dalam beleid itu pun, uang jaminan tersebut bisa dicairkan apabila ada kemajuan pembangunan smelter. Mengenai volume ekspor Freeport bila sudah diizinkan, dia memperkirakan sampai akhir tahun ini mencapai satu juta ton.
Sementara itu, Manajemen Freeport mengaku akan berusaha untuk mendapatkan izin ekspor tersebut. "Kami terus berunding dengan pemerintah untuk memperpanjang izin ekspor," ujar juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama kepada Katadata, Jumat, 29 Januari 2016.
Sebelumnya, Menteri Energi Sudirman Said mengatakan Freeport sudah menyampaikan surat mengenai persyaratan tersebut. Dalam surat itu, Freeport berjanji akan bersikap kooperatif. Hanya saja, keuangan Freepot saat ini sedang tidak baik. Laporan keuangan induk usahanya, Freeport McMoRan (FCX), menunjukkan kerugian sebesar US$ 12,23 miliar sepanjang tahun lalu. Kerugian ini lebih besar dibandingkan yang dialami 2014 yang hanya US$ 1,3 miliar. Total utang Freeport McMoRan selama 2015 juga membengkak menjadi US$ 20,42 miliar, lebih besar dibandingkan utang pada 2014 yang baru US$ 18,84 miliar.
Untuk itu pemerintah akan mencarikan solusi mengenai masalah tersebut. Tujuannya agar operasi terjaga supaya tidak berpengaruh pada ekonomi lokal maupun industri.
Di tengah usaha mendapatkan izin ekspor, Freeport juga sedang menawarkan divestasi sahamnya sebesar 10,64 persen kepada pemerintah. Mereka menghargai saham tersebut senilai US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun. Namun sejumlah pihak menilai harga tersebut terlalu tinggi. Karena itu, untuk menghitung nilai wajarnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno meminta anak usaha Bank Mandiri yakni Mandiri Sekuritas dan Danareksa untuk mengevaluasi harga penawaran itu.
Ditemui dalam peluncuran Global Master Repurchase Agreement Indoneisa di Gedung Bursa Efek Indonesia, hari ini, Direktur Keuangan Mandiri Pahala Mansury menyatakn belum mengetahui hasil penghitungannya. Dia pun tidak mau berspekulasi bila Mandiri juga diserahi untuk mengambil alih saham tersebut. Instansinya akan mengikuti arahan pemerintah.
“Rencana pembelian saham belum kami ketahui, jadi kami tunggu keputusan resmi pemerintah,” kata Pahala. “Kami lihat dulu mulai dari struktur transksi, pricing-nya seperti apa, kami belum tahu."