KATADATA - Terus melorotnya harga minyak dunia turut menyeret penurunan harga minyak sawit alias crude palm oil (CPO). Para pelaku industri sawit pun mulai khawatir, kondisi tersebut bisa mengancam kelangsungan program biodiesel besutan pemerintah pada tahun ini.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat rata-rata harga CPO pada tahun lalu mencapai US$ 614,2 per metrik ton atau anjlok 25 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Anjloknya harga CPO sejalan dengan penurunan harga minyak dunia. Tahun ini, saat harga minyak terus melorot hingga di bawah US$ 30 per barel, Gapki memperkirakan harga CPO akan semakin turun ke kisaran US$ 400-US$ 500 per metrik ton. Artinya lebih rendah 20-30 persen dibandingkan tahun ini.
“Ini sesuatu yang tidak dapat dielakkan karena harga minyak turun. Harga CPO akan mencapai suatu titik keseimbangan baru yang akan menjadi acuan industri sawit,” kata Ketua Umum Gapki Djoko Supriyono saat pemaparan prospek industri sawit 2016 di Jakarta, Rabu (20/1).
Menurut dia, kalau harga minyak terus menurun yang menyeret harga CPO maka bisa menganggu program biodiesel nasional. Pasalnya, program yang mewajibkan penggunaan minyak sawit untuk bahan bakar biodiesel ini akan menambah subsidi dana pemerintah. Apalagi, tahun ini ada pemberlakuan mandatori biodiesel sebesar 20 persen (B20).
(Baca: Penurunan Harga Minyak Hambat Kebijakan Biodiesel)
Kondisi ini perlu mendapat perhatian pemerintah sehingga mengevaluasi kembali arah kebijakan program biodiesel tersebut. “Implikasinya besar terhadap subsidi. Pemerintah seharusnya mengevaluasi,” kata Djoko.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan juga memperkirakan besaran subsidi biodiesel untuk program mandatori B20 bakal semakin besar. Ia pun mempertanyakan kesiapan dana sawit yang dihimpun oleh Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP).
Pasalnya, dana sawit yang bisa dihimpun tahun ini sebesar Rp 10 triliun plus dana carry over tahun lalu Rp 6 triliun. Sedangkan kebutuhan dana subsidi program mandatori B20 sekitar Rp 18 triliun hingga Rp 19 triliun. ”Harus ada evaluasi menyeluruh, supaya program ini tetap bisa berjalan,” kata Fadhil.
Di sisi lain, Djoko berharap perusahaan sawit perlu melakukan efisiensi tanpa pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat penurunan harga CPO. Selain itu, memangkas investasi. Namun, perusahaan perlu meningkatkan produktivitas, terutama dari sisi petani sawit. "Intinya industri sawit saat ini lebih baik membuang lemak-lemaknya dulu," katanya.
(Baca: Gapki Prediksi Serapan Biodiesel Tahun Ini 20 Persen di Bawah Target)
Terkait target produksi CPO, Djoko menilai sisa efek El Nino sejak tahun lalu masih akan berdampak terhadap produksi sawit tahun ini. Kondisi ini berdampak terhadap mayoritas lahan sawit, terutama di Sumatera. Sayangnya, Djoko masih enggan menyebut spesifik target produksi sawit tahun ini. "Harapan kami produksi tidak turun banyak (dari 2015). Paling tidak flat, cenderung naik," katanya.
Sedangkan Fadhil menyebut peningkatan nilai tambah sawit melalui hilirisasi tetap harus dilakukan meski harga CPO anjlok. Solusinya, Gapki menyarankan kepada pemerintah agar melakukan zonasi penanaman untuk membantu investor menetapkan sentra bisnis sawit. "Zonasi khusus ini kami yakini akan mempermudah investor untuk masuk ke dalam industri ini," katanya.