KATADATA - Kisruh rencana perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia masih berlanjut. Pada awal pekan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan DPR. Said menuding lelaki yang pernah diduga terlibat dalam kasus cessie Bank Bali itu melanggar etika. Pasalnya, Setya Novanto bersama seorang pengusaha yang ditengarai sebagai Riza Chalid beberapa kali bertemu dengan Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin.
Dalam pertemuan ketiga, Setya Novanto menjanjikan penyelesaian kelanjutan kontrak Freeport di Indonesia. Pertemuan pada Senin, 8 Juni 2015, di Pacific Place, SCBD, Jakarta Pusat itu berlangsung sekitar pukul 14.00-16.00 WIB. Setya dan Riza disinyalir menyiapkan pembagian saham untuk Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sebagai imbalannya, Setya diduga meminta sejumlah hal, di antaranya saham pada proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Uru Muka di Kabupaten Mimika, Papua, yang berkapasitas 1000 megawatt. Dia pun berharap Freeport menjadi investor sekaligus pembeli (off taker) listrik yang akan dihasilkan pembangkit ini.
Semua informasi detail lainnya kemudian terkuak dari transkrip rekaman pertemuan di Pacific Place tersebut. Pada sore hari setelah Sudirman melapor ke Mahkamah Kehormatan, transkrip itu beredar di kalangan wartawan melalui pesan berantai. Selain menyinggung Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, rekaman itu pun memunculkan nama Luhut yang diduga sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Atas beredarnya transkrip ini, Luhut mebantahnya. “Enggak benar lah,” kata Luhut melalui pesan Whatsapp-nya, kepada Katadata, Selasa, 17 November 2015. Sementara itu Sudirman menyatakan haya Tuhan yang mengetahui peran Luhut dalam kisruh perpanjangan Freeport tersebut.
Sehari kemudian, Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Junimart Girsang menyatakan, Sudirman memang menyerahkan transkrip rekaman. Hanya saja formatnya tidak sesuai dengan dokumen yang beredar tadi. Misalnya, tidak ada kode angka percakapan, hanya memuat inisial peserta pertemuan sebagai MS, SN, dan RC. Namun, bila dibandingkan, isinya serupa. Misalnya dalam pembicaraan berikut ini:
SN: Saya ketemu Presiden, cocok. Artinya, dilindungi keberhasilan semua ya. Tapi belum tentu bisa dikuasai menteri-menteri Pak, yang gini-gini.
R: Freeport jalan, bapak, kita ikut-ikut happy, kumpul-kumpul kita golf, kita beli private jet yang bagus, yang reperesentatif.
MS: Tapi saya yakin Pak, Freeport pasti jalan.
SN: Jadi kita harus banyak akal. Kita harus jeli, kuncinya itu ada pada Pak Luhut ada saya.
Menanggapi pertemuan tersebut, Setya Novanto yang awalnya membantah kemudian membenarkan. Dia menyatakan mengajak Riza dalam pertemuan tersebut karena mempunyai kecurigaan kepada Maroef. “Saya memang ajak karena Pak Riza punya pemikiran sangat curiga kepada CEO (Maroef) yang begitu intens. Pertemuan itu hal biasa, bukan serius,” kata Setya Novanto ketika dihubungi detik.com kemarin.
Setelah transkrip tersebut, hari berikutnya beredar kembali di kalangan wartawan surat Setya Novanto yang diduga untuk mengintervensi Pertamina. Surat bertanggal 17 Oktober 2015 dengan kop DPR itu ditujukan kepada Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. Setya meminta Pertamina membayar biaya penyimpanan bahan bakar minyak kepada PT Orbit Terminal Merak, tempat Pertamina biasa menyimpan bahan bakar.
Untuk menguatkan permintaannya, Setya Novanto melampirkan sejumlah dokumen. Misalnya, catatan rapat negosiasi antara Pertamina dan PT Orbit tentang penyesuaian kapasitas tangki timbun. “Sesuai dengan pembicaraan terdahulu dan informasi dari Bapak Hanung Budya Direktur Pemasaran dan Niaga sekiranya kami dapat dibantu mengenai addendum perjanjian jasa penerimaan, penyimpanan dan penyerahan Bahan Bakar Minyak,” tulis surat Setya Novanto. Lantaran surat ini, namanya kembali menjadi tranding topic. Dia masuk makin dalam di pusaran persoalaan ini.
Sementara itu, Diretur Utama Pertamina Dwi Sutjipto membenarkan telah menerima surat Setya Novanto dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR. “Tapi penyelesaiannya masih terus didiskusikan dengan pihak PT Orbit,” kata Dwi kepada Katadata, Rabu, 18 November 2015. (Baca: Peran Luhut dalam Transkrip Rekaman Kontrak Freeport).
Bertebarannya dokumen tak berhenti di sini. Hari ini muncul kiriman “balasan”. Sebuah surat yang ditandatangani Sudirman Said tersebar. Ditujukan kepada James R. Moffet, Chairman of the Board Freeport McMoran, perusahaan pemilik Freeport yang berbasis di Amerika, itu Sudirman menanggapi permintaan perpanjangan operasi Freeport di Papua.
"Sambil melanjutkan proses penyelesaian aspek legala dan regulasi, pada dasarnya PT Freeport Indonesia dapat terus melanjutkan kegiatan operasinya sesuai dengan Kontrak Karya hingga 30 Desember 2021," demikan bunyi poin pertama surat tersebut.
Karena dua lembar kertas tertanggal 7 Oktober 2015 itu, sebagian publik mengira pemerintah menyetujui perpanjangan kontrak Freeport hingga 2041, bertambah 20 tahun dari masa usai kontrak pada 2021. Atas informasi tersebut, Sudirman sempat "meluruskannya". Menurut dia, tidak ada keputusan perpanjangan kontrak. Surat itu hanya sekadar rumusan yang menjadi solusi bagi persiapan kelanjutan investasi Freeport dalam jangka panjang.
Sebenarnya, surat tersebut merupakan "daur ulang". Katadata telah memperolehnya akhir bulan lalu.