KATADATA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengusulkan agar pemerintah membuka opsi ekspor untuk gas yang berasal dari proyek Tangguh Train 3 di Papua Barat. Opsi ini diperlukan jika konsumen dalam negeri tidak mampu menyerap gas tersebut.
"Harusnya dibuka opsi (ekspor) itu, tapi ada catatan harus ada ruang kalau kebutuhan dalam negeri meningkat. Misalnya PLN perlu gas, harus ada slot," kata Wakil Kepala SKK Migas M.I. Zikrullah di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/10).
(Baca: Dicari: Pembeli LNG Tangguh Train 3 Secepatnya)
Dia mengatakan saat ini kemampuan domestik untuk menyerap gas masih minim. Perlu ada terobosan agar gas tersebut bisa terjual, yakni dengan cara diekspor. Jika tidak diekspor, maka proyek pengembangan gas tidak akan ekonomis.
Ditinjau dari regulasi yang ada, kata Zikrullah, sebenarnya tidak ada aturan yang melarang gas produksi dalam negeri dijual ke luar negeri. Bahkan, dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 03 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri, Menteri diberikan kewenangan untuk mengambil kebijakan ekspor.
"Artinya penuhi kebutuhan dalam negeri, setelah itu menteri mempunyai kebijakan untuk melakukan ekspor," ujarnya. (Baca: Tiga Kargo Gas Jatah Dalam Negeri Masih Belum Laku)
Seperti halnya Train 1 dan 2, hasil produksi gas alam cair (LNG) dari Tangguh Train 3 juga dialokasikan untuk pasar domestik dan ekspor. Sebanyak 40 persen atau 1,5 juta ton LNG Train 3 dialokasikan untuk pasar domestik saban tahun. Sedangkan 60 persen dari total produksi bisa diekspor atau dibeli perusahaan asing.
Hingga kini, dua perusahaan sudah berkomitmen menyerap produksi LNG Train 3. Yaitu PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebanyak 1,5 mtpa atau 40 persen dari total produksi dan Kansai Electric Power Co. asal Jepang sebanyak 1 juta ton per tahun (mtpa). (Baca: Harga Minyak Turun, PLN Kesulitan Menyerap Gas Domestik)
Kalau dijumlah, penyerapan produksi Train 3 baru sebanyak 2,5 mtpa atau 66 persen. Padahal, menurut sumber Katadata di industri minyak dan gas bumi, BP menargetkan bisa mengantongi komitmen pembelian gas minimum 80 persen dari total produksi untuk merampungkan proses akhir (final investment decision/FID) dan memulai pembangunan Train 3.
Mengenai masalah Train 3 Kilang Tangguh ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengaku telah bertemu dengan pihak operator, BP Indonesia. Ada dua hal yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut, yakni keinginan BP Indonesia untuk melanjutkan proyek tersebut dan meminta dukungan pemerintah dalam mencari pembeli gas tersebut.
Wiratmaja masih menginginkan LNG yang dihasilkan Kilang Tangguh bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, ada beberapa kendala yang membuat hal ini sulit dilakukan, salah satunya masalah minimnya infrastruktur.
"Itulah tantangannya, kita ingin LNG sebanyak-banyaknya untuk dalam negeri, tapi infrastruktur belum memadai. Makanya kami genjot pembangunan infrastruktur gas," ujarnya kepada Katadata, Kamis (29/10). (Baca: Kementerian ESDM Akan Revisi Aturan Jatah Gas di Dalam Negeri)