KATADATA - Pemerintah diminta tidak hanya melihat aspek perhitungan bisnis dalam memutuskan pengembangan proyek Blok Masela di Laut Arafura. Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kardaya Warnika, meminta pemerintah juga harus memperhatikan efek berantai bagi negara, khususnya perekonomian daerah. 

Proposal proyek migas dimulai dari evaluasi yang dilakukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Kemudian diajukan kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan dilanjutkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Perhitungan yang dilakukan KKKS hanya berdasarkan biaya investasi dan keuntungan dari proyek tersebut. Perhitungan ini tidak mempertimbangkan efek berantai (multiplier effect) bagi negara dan masyarakat sekitarnya. Pertimbangan ini seharusnya menjadi perhitungan SKK Migas sebelum menyetujui proposal yang diajukan KKKS. Begitu pun dengan pertimbangan yang dilakukan di level menteri.

"Menteri bobotnya harus mempertimbangkan keuntungan negara, tidak semata-mata cost perusahaan. Kalau di pemerintah mempertimbangkan berapa cost-nya seperti yang disampaikan KKKS, sama saja  pemerintah tidak jalan," kata dia dalam diskusi “Kekayaan Blok Masela Untuk Siapa?” di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Selasa (6/10).  (Baca: Sudirman Said Lebih Percaya Hitungan SKK Migas soal Blok Masela)

Dia mencontohkan kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada tahun 2000 yang membandingkan gas yang diekspor dan dipasok di dalam negeri. Jika diekspor dalam bentuk cair (LNG) harganya mencapai US$ 10 per MMBTU (million british thermal units), tapi jika dijual di dalam negeri harganya hanya US$ 3 MMBTU.

Berdasarkan harga jualnya memang lebih menguntungkan ekspor. Padahal jika gas tersebut dijual ke industri dalam negeri akan menimbulkan efek berganda bagi perekonomian dalam negeri. Perhitungan Kardaya, setiap 1 MMBTU yang dipasok ke dalam negeri, bisa menghasilkan efek ganda senilai US$ 18. 

Mengenai revisi rencana pengembangan (PoD) Blok Masela, Kardaya menganggap skema pembangunan kilang di darat (onshore) lebih berdampak besar bagi perekonomian domestik, dibandingkan kilang gas cair terapung (FLNG). Jika menggunakan skema darat, banyak industri seperti petrokimia dan pembangkit listrik bisa tumbuh. Sementara skema FLNG kemungkinan hanya akan digunakan untuk ekspor. (Baca: Rizal Ramli Minta Pengembangan Blok Masela Dikaji Ulang)

Kardaya menceritakan pengajuan PoD I Blok Masela pada 2007-2008, saat dia menjabat kepala Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Saat itu Inpex Corporation menginginkan skema darat yang dianggap lebih murah dan efisien.  Hanya saja saat itu dia menolak karena gas tersebut ingin dibawa ke Australia. Dia menduga proposal tersebut berubah ketika Shell masuk ke blok migas tersebut.

"Kalau sekarang bilang di darat lebih mahal itu berarti berlawanan dengan apa yang dia sampaikan awal," ujar dia. 

Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan siaran pers Inpex pada 21 Desember 2010 silam. Dalam siaran pers itu, Inpex mengabarkan bahwa pemerintah telah menyetujui rencana pengembangan Lapangan Abadi, Blok Masela, menggunakan skema FLNG dengan kapasitas produksi 2,5 MTPA. Persetujuan itu setelah Inpex mengajukan proposal POD tersebut pada tahun 2008.

Sedangkan, menurut keterangan Inpex pada tahun 2011, Shell baru masuk sebagai mitra startegis dalam proyek Abadi tersebut per tanggal 22 Juli 2011. Artinya, itu setelah POD dengan konsep FLNG disetujui oleh pemerintah.

Mantan Direktur Utama LNG Bontang Yoga Suprapto meragukan kajian dari SKK Migas yang menyebut investasi FLNG berkapasitas 7,5 juta ton per tahun, hanya US$ 14,8 miliar. Pengalaman proyek serupa yang dibangun di Australia berkapasitas 3,6 juta ton per tahun saja, sudah menghabiskan US$ 13 miliar. 

 (Baca: Bantah Rizal Ramli soal Blok Masela, SKK Migas: FLNG Lebih Unggul)

Selain itu, dia juga mempertanyakan kajian SKK Migas untuk skema pembangunan kilang di darat yang menghabiskan dana US$ 19,3 miliar. "Dengan pengalaman pembangunan kilang LNG Darat di Arun, Bontang, Tangguh dan Donggi Senoro, maka perkiraan biaya kilang LNG darat kapasitas 7,5 juta ton per tahun hanya sekitar US$ 16 miliar," ujar dia. 

Sementara mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara (PLN) Ali Herman Ibrahim mendukung skema darat, demi pertumbuhan industri dalam negeri. Menurut dia ke depannya, kebutuhan gas dalam negeri sangat besar apalagi dengan adanya proyek pembangkit 35 gigawatt (GW). Persentase pembangkit gas dalam proyek listrik ini mencapai 13 GW, dengan kebutuhan gasnya mencapai sekitar 2.600 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). (Baca: Gas dari Blok Masela Diprioritaskan untuk Dalam Negeri)

Reporter: Arnold Sirait