KATADATA ? Kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas) terus berupaya menagih pembayaran kembali (reimbursement) pajak pertambahan nilai (PPN) dari pemerintah. Selain itu, para kontraktor menginginkan insentif berupa penghapusan PPN untuk fasilitas bersama (sharing facility) pada kegiatan hulu migas.
Dewan Direksi Indonesia Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz mengungkapkan, pihaknya sudah membicarakan masalah terganjalnya klaim reimbursement PPN tersebut dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada Jumat dua pekan lalu (19/9). IPA pun berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, Lukman mengklaim, Menteri Keuangan akan meneliti terlebih dahulu masalah keterlambatan pengembalian PPN kepada para kontraktor migas. ?Mudah-mudahan ada terobosan dalam waktu dekat," kata dia kepada Katadata, Jumat lalu (25/9).
Selain menagih pengembalian PPN, IPA juga meminta pemerintah menghapuskan pungutan PPN untuk fasilitas bersama. Menurut Lukman, PPN ini harus dihapus karena fasilitas produksi di dalam kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC) adalah milik negara. Jadi fasilitas itu bisa digunakan bersama kontraktor lain dan tidak perlu dibebani PPN. "Keuntungan (bagi) negara, fasilitas baru tersebut tidak perlu dibangun. Kalau bisa sharing, misalnya kirim gas dari satu point ke point yang lain bisa berbagi fasilitasnya," ujar Presiden Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk ini.
(Baca: Pemerintah Tolak Kembalikan PPN Kontraktor Migas Rp 1,8 Triliun)
Seperti diberitakan Katadata sebelumnya, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan menolak reimbursement setoran pajak yang diklaim sejumlah KKKS migas senilai hampir Rp 1,8 triliun. Alasannya, klaim reimbursement PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) periode Februari 2015 itu tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 218 tahun 2014 tentang tata cara reimbursement PPN dan PPnBM kepada kontraktor dalam kegiatan hulu migas.
Menurut sumber Katadata, klaim reimbursement periode Februari 2015 yang diterima pemerintah cuma Rp 1 triliun. Adapun klaim Rp 1,77 triliun tidak dikabulkan karena baru disampaikan kepada Ditjen Anggaran pada 30 Maret 2015. Tak cuma itu, SKK Migas menghentikan verifikasi klaim reimbursement senilai Rp 3,3 triliun meski telah diajukan KKKS sebelum 5 Februari 2015. Jadi, total nilai reimbursement yang gagal dicairkan gara-gara perbedaan pemahaman masa berlaku PMK 218/2014 sekitar Rp 5 triliun.
(Baca: Klaim PPN Ditolak, Pelaku Migas Minta Pemerintah Hormati Kontrak)
Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan sebenarnya dalam kontrak PSC yang ditandatangani oleh kontraktor migas dan pemerintah, tidak menyebutkan ketentuan adanya pajak yang harus dibayarkan kontraktor. Namun, Undang-Undang (UU) Migas tahun 2001 menyebut ketentuan lain. Dalam Pasal 31 disebutkan bahwa pelaku usaha migas wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Setahun sebelumnya, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 sudah menetapkan industri migas dikenakan PPN. Ketentuan ini diperkuat dengan (PMK) 11 tahun 2005 tentang penunjukan kontraktor migas untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM. PPN yang diatur dalam PMK tersebut adalah sebesar 10 persen dari dasar pengenaan pajak.
(Baca: Kementerian Energi Tak Mau Campuri Masalah Pajak Kontraktor Migas)
Menurut Pri pasal 31 dalam UU Migas yang mewajibkan perusahaan migas membayar pajak menjadi rancu. Karena kontrak migas dilakukan bukan dengan badan usaha, tapi dengan pemerintah melalui Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). ?Yang berkontrak dengan KKKS bukan perusahaan (SKK Migas). Itu membawa efek KKKS menjadi subjek pajak secara langsung,? ujarnya.