KATADATA ? Pemerintah berencana mengurangi porsi bagi hasil yang diterimanya dari produksi gas bumi Lapangan Tiung Biru-Jambaran di Blok Cepu, Jawa Tengah. Hal tersebut merupakan dampak dari kebijakan pemerintah menurunkan harga gas untuk industri mulai 1 Januari tahun depan.

Kepala Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi memperkirakan, penurunan harga gas untuk Lapangan Tiung Biru sekitar US$ 1 per juta british thermal unit per hari (BTUD) dari asumsi awal sebesar US$ 8 plus dua persen eskalasi. Jadi, setelah direvisi nantinya harga jual gas dari lapangan itu sebesar US$ 7 plus dua persen eskalasi per juta BTUD.

Agar kebijakan itu tidak mempengaruhi jumlah penerimaan para mitra kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) Lapangan Tiung Biru, pemerintah akan mengurangi sendiri porsi bagi hasilnya. "Memang ada penurunan migas bagian negara karena kita (pemerintah) memberikan harga lebih rendah untuk pupuk," kata Amien kepada Katadata di Jakarta, Kamis (17/9).

Awalnya, dalam revisi rencana pengembangan (plan of development/PoD) Lapangan Tiung Biru yang sudah disetujui oleh SKK Migas pada 17 Agustus lalu, porsi bagi hasil untuk negara sebesar 45,8 persen. Sedangkan 24,5 persen merupakan jatah kontraktor KKS dan 29,7 persen untuk pengembalian biaya operasi (cost recovery). Kontraktor lapangn itu adalah PT Pertamina EP Cepu, PT Pertamina EP, ExxonMobil Cepu, dan Badan Kerja Sama PI (Participating Interest) Blok Cepu.

(Baca: Pengembangan Lapangan Jambaran Disetujui, Negara Bisa Terima Rp 80 Triliun)

Berdasarkan perhitungan Amien, porsi bagi hasil untuk negara setelah harga gas diturunkan akan menyusut jadi 40,2 persen. Sedangkan bagian KKKS bertambah menjadi 30,1 persen. Alhasil, potensi penerimaan negara dari bagi hasil produksi gas Lapangan Tiung Biru akan ikut berkurang.

Sekadar informasi, Lapangan Tiung Biru ditargetkan mulai berproduksi sebesar 227 juta kaki kubik per hari pada kuartal pertama 2019. Adapun puncak produksinya sebesar 315 juta kaki kubik diharapkan tercapai tahun 2020. Dengan asumsi harga gas US$ 8 per juta BTUD maka proyeksi nilai produksi lapangan itu hingga kontraknya berakhir tahun 2035 mencapai US$ 12,97 miliar.

Kalau porsi bagi hasil untuk negara berkurang menjadi 40,2 persen maka potensi nilai penerimaan negara menjadi sebesar US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 74,4 triliun. Nilainya lebih kecil sekitar Rp 10 triliun dari potensi penerimaan negara dengan asumsi awal harga gas US$ 8 per juta BTUD dan porsi bagi hasil 45,8 persen.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro tidak mempermasalahkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari produksi Lapangan Tiung Biru akibat kebijakan penurunan harga gas. Potensi kehilangan pendapatan tersebut bisa digantikan dalam bentuk lain, yaitu pengurangan subsidi listrik. "Subsidi listri pasti dikurangi. PLN (Perusahaan Listrik Negara (PLN) kan beli gas," katanya.

(Baca: Penurunan Harga Gas untuk Industri Berlaku pada Kontrak Baru

Seperti dikerahui, pemerintah memang berencana menurunkan harga gas untuk industri mulai 1 Januari 2016. Kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan presiden (Perpres), yang saat ini masih digodok oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Penurunan harga gas hanya diberlakukan untuk kontrak baru penjualan gas. Tujuannya adalah mendorong pengembangan industri hilir yang menggunakan bahan baku gas, seperti pupuk, petrokimia dan listrik.

Reporter: Arnold Sirait