Puncak Covid-19 Belum Terlewati, Tetap Lawan Virus Corona dari Rumah

ANTARA FOTO/Anindira Kintara/Lmo/nz
Petugas medis Dinas Kesehatan Provinsin Kepulauan Bangka Belitung menunjukan gelang bagi Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau gelang tetap di rumah di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (9/4/2020).
Penulis: Muchamad Nafi
19/4/2020, 08.48 WIB

Aktivitas masyarakat belum banyak berubah meskipun sejumlah daerah menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk memutus penyebaran Covid-19. Selain di pasar, aktivitas pagi terpadat biasanya terpusat di lokasi-lokasi transportasi publik seperti terminal, halte, atau stasiun kereta.

Kota Bekasi menerapkan PSBB bersama empat daerah lainnya di Jawa Barat, yakni Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Bekasi. Mobilitas penduduk Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota jelas tinggi. Sebab, menurut Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, 60 persen warganya bekerja di Jakarta.

Jika proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa penduduk berdasarkan kecamatan di Kota Bekasi pada 2019 mencapai 3,014 juta jiwa, setidaknya 1,8 juta orang bekerja di Jakarta. Berbagai moda transportasi biasanya mereka gunakan, mulai dari bus, angkutan kota, ojek online, motor, mobil pribadi, taksi, taksi online, hingga jalur komuter.

Masih menurut Rahmar Effendi, setidaknya 120.000 warga Kota Bekasi biasanya bergerak ke Jakarta setiap hari dengan memanfaatkan kereta rel listrik (KRL).

(Baca: Lacak Kasus Corona, Masyarakat Diminta Unduh Aplikasi Pedulilindungi)

Pada Rabu (15/4) pagi kemarin memang tidak terlihat antrean panjang calon penumpang maupun bus-bus pengumpan Trans-Jakarta menjelang pintu tol Bekasi Barat. Begitu pula di Stasiun Bekasi. Tidak tampak penumpang yang biasanya berjejalan di peron.

Penurunan jumlah penumpang bisa pula terdeteksi dengan berkurangnya kerumunan ojek dan angkutan kota yang biasanya berhenti sekenanya di sekitar pintu masuk stasiun. Halaman Stasiun Bekasi yang biasanya sejak subuh sesak oleh motor dan mobil yang dititipkan kini terlihat jauh lebih longgar.

Meski demikian, para pelaju Bekasi-Jakarta tetap ada di sana. Mereka yang masih harus bekerja di tengah pandemi corona tetap bergerak menggunakan KRL menuju Jakarta, Tangerang, Cikarang, Depok ataupun Bogor.

Leolita contohnya. Warga Bekasi Barat, yang menjadi staf administrasi di sebuah perusahaan kargo, ini tetap harus bekerja di tengah merebaknya virus corona. Dia tahu soal PSBB Kota Bekasi yang mulai berlaku, namun tidak dapat mengelak dari tugas kantornya.

Perusahaannya yang berada di sekitar Stasiun Manggarai menerapkan kerja secara bergiliran, satu hari masuk satu hari libur. Selain itu, menurut Leolita, mereka hanya beroperasi hingga pukul 16.00 WIB selama PSBB.

Rasa takut tertular virus saat keluar rumah tentu ada. Dengan mengenakan masker, Leolita sebisa mungkin menjaga jarak fisik saat berada di ruang publik, termasuk memilih berdiri di dalam gerbong dan menjauh dari orang lain.

Sementara Suryanto, seorang pensiunan yang tinggal di Cikarang, Jawa Barat, juga tahu ada penerapan PSBB. Namun dia terlihat bergegas di Stasiun Bekasi dan melihat ada yang berbeda dalam layanan di stasiun. Ada wastafel dan sabun hingga garis-garis pembatas dalam gerbong untuk menerapkan jaga jarak fisik atau physical distancing.

(Baca: IDI Sebut Jumlah Kematian di RS Akibat Covid-19 Capai 1.000 Orang)

Suryanto berupaya sebisa mungkin mengikuti anjuran pemerintah, namun tampaknya keperluan tidak dapat menghentikan langkahnya untuk keluar rumah. Dengan tas ransel berwarna hitam yang terisi penuh, dia pun naik kereta bersama penumpang yang lain.

Ada pula Fitri, asal Jawa Tengah, yang bekerja di bagian administrasi sebuah proyek gedung hunian Tangerang Selatan. Dia terlihat keluar dari Stasiun Bekasi di hari pertama penerapan PSBB.

Dengan memanfaatkan jalur komuter untuk bertemu rekan kerjanya di Kota Bekasi, Fitri yang berbekal masker dan membawa tas punggung mungil melintasi tiga wilayah provinsi, dari Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.

Fitri tahu pembatasan sosial sedang berjalan. Dia justru merasa cukup repot dengan pembatasan waktu operasional transportasi publik yang hanya mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB.

Lawan Corona dengan Meminimalkan Mobilitas

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta jalur komuter atau KRL diujicoba untuk berhenti beroperasi sementara saat Tangerang mulai menerapkan PSBB pada Sabtu (18/4). Harapannya, virus semakin terisolasi di episentrum Covid-19, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

HARI PERTAMA PSBB STASIUN BEKASI (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/aww.)

Kecepatan virus menyebar sangat berkorelasi dengan pergerakan atau mobilitas manusia. Selama belum menjalani tes swab dengan metode reverse transcript-polymerase chain reaction (RT-PCR), mereka tidak dapat memastikan keberadaan virus di tubuhnya. Mereka adalah orang-orang tanpa gejala, dengan bergerak ke sana-sini dapat menyebarkan virus tanpa sadar.

Sejak 10 April 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengumumkan 34 provinsi di Indonesia telah terpapar virus corona dengan ditemukannya kasus positif di Gorontalo. Penyebaran corona pun terjadi di seluruh Indonesia kurang dari satu setengah bulan sejak kasus pertama muncul pada 2 Maret lalu.

Penularan sudah meluas ke penjuru Nusantara. Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono menyebutnya sebagai national wide community transmission.

Karenanya, penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar akan lebih efektif apabila dilakukan secara nasional, dengan intensitas penerapan di lapangan bisa bervariasi. Daerah yang mungkin memiliki jumlah kasus kecil atau sama sekali tidak ada maka dapat menerapkan 50 persen PSBB di tahap awal.

(Baca: Puncak Corona Mungkin setelah Lebaran, Tergantung Orang Mudik)

Saat ini, menurut Pandu Riono, yang perlu dilakukan atau dimaksimalkan masyarakat adalah melakukan PSBB secara baik dan benar. Tidak mudik, tidak berkumpul melebihi lima orang, selalu menggunakan masker saat di luar rumah, dan mengikuti arahan pemerintah lainnya menjadi cara untuk mempercepat pemutusan rantai penyebaran Covid-19.

Namun dia berpendapat penghentian total transportasi publik bukan menjadi opsi jika menghambat dokter, perawat, TNI/Polri, dan sebagainya. Pengecualian harus diberikan untuk mereka yang bekerja di sektor-sektor utama yang mengupayakan pemutusan mata rantai penularan virus corona tipe baru tersebut.

Sebab, penting melibatkan tenaga kesehatan masyarakat di berbagai daerah untuk menghadapi situasi penularan penyakit yang mewabah di tengah masyarakat. Dokter dan perawat saja tidak cukup untuk mengatasi pandemi.

Kamis kemarin, Gugus Tugas Percepatan Pengendalian Covid-19 melansir angka akumulasi kesembuhan lebih besar untuk pertama kalinya, yakni 548 orang. Sedangkan angka akumulasi yang meninggal mencapai 496 jiwa. Untuk angka akumulasi kasus positif di hari yang sama mencapai 5.516 orang.

Data termutakhir bisa dilihat di Databoks berikut ini:

Meski angka kesembuhan lebih besar membawa angin segar, namun Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan CovidD-19 Wiku Adisasmito juga memberikan proyeksi puncak pandemi di Indonesia. Kemungkinannya akan terjadi di awal Mei hingga awal Juni 2020 dengan estimasi kumulatif mencapai 95.000 kasus. Angka tersebut datang dari berbagai kajian para ahli dan lembaga ilmiah.

(Baca: Positif Corona RI Tambah 325 jadi 6.248 Orang, yang Sembuh Kian Banyak)

Setelah masa puncak pandemi di awal Juni, menurut Wiku, kenaikan jumlah kasus positif akan mulai melandai. Pada Juni hingga Juli 2020 jumlah pasien yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia bisa mencapai 106.000 kasus.

“Bagaimanapun kita percaya angka ini bukan sudah ‘rigid’. Kami terus menerapkan berbagai kebijakan agar jumlah kasus positif lebih rendah dari yang diproyeksikan,” ujar Wiku. Dengan demikian tidak ada cara lain, tetap berada di rumah dan meminimalisasi mobilitas harus dilakukan untuk memutus penularan virus corona.

Reporter: Antara