Masalah Pangan Menjelang Ramadan di Tengah Pandemi Covid-19
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020 telah mengumumkan bahwa Covid-19 sebagai pandemi global. Indonesia pun tak luput dari wabah yang disebabkan oleh virus corona ini.
Hingga 20 April 2020, jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 6760 orang. Sebanyak 747 telah sembuh, sedangkan 590 lainnya meninggal dunia.
Covid-19 tak hanya menimbulkan krisis kesehatan. Adanya seruan untuk tinggal di rumah, menjaga jarak fisik, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah semakin luasnya penyebaran penyakit ini telah menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Kesiapan Pemerintah
Di saat jumlah penderita Covid-19 semakin bertambah di Indonesia, pemerintah pun diuji untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam jumlah besar. Apalagi, dalam menghadapi Ramadan mulai 24 April 2020 hingga Idul Fitri 1441 Hijriah, saat tren konsumsi masyarakat cenderung meningkat.
Bulan puasa di Indonesia identik dengan persoalan klasik, yaitu kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok seperti daging, cabai, telur, gula pasir, dan minyak goreng. Beruntung, Ramadan tahun ini hampir bertepatan dengan musim panen.
(Baca: Harga Beras Sempat Naik, Mendag Klaim Stok Cukup untuk Lebaran)
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pun menjamin ketersediaan 11 komoditas pangan utama dengan menjaga pasokan, maupun stabilitas harga saat memasuki puasa selama Ramadan. Pemerintah juga akan mengawal distribusi berbagai bahan pokok ini di tengah terbatasnya pergerakan masyarakat saat pandemi.
Sebelas komoditas yang dikawal yaitu beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi/kerbau, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng.
"Kementerian Pertanian mengawasi pasokan dan stok pangan dengan ketat. Masyarakat mohon agar tenang dan tidak perlu resah. Pasokan dan stoknya ada. Hitungan kami hingga Agustus 2020 masih cukup," kata Syahrul.
Bagaimanapun, ada komoditas yang terpaksa diimpor karena produksi dalam negeri belum mencukupi, seperti bawang putih, daging sapi, dan gula. Ya, harga gula di pasaran dalam beberapa pekan terakhir memang naik hingga Rp 18 ribu per kilogram, sedangkan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah seharusnya hanya Rp 12.500 per kilogram.
Untuk memastikan kesiapan pangan, Syahrul menyebutkan saat ini ada 332 titik kabupaten di Indonesia yang sedang panen raya padi dan jagung, antara lain di Serdang Bedagai, Banyuasin, Bengkulu Selatan, Rejang Lebong, Cianjur, Balangan, Barru, Banggai, Konawe Selatan, Sumbawa Barat, Dompu dan Nagekeo.
Senada dengan Syahrul, Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Budi Waseso juga menjamin stok beras dan kebutuhan pangan lain aman. Termasuk, jika ada kebutuhan tak terduga akibat pandemi.
Bulog memastikan seluruh jaringan retail mitranya siap menyediakan kebutuhan beras di tingkat lokal baik secara online maupun offline. "Tidak ada masalah, Bulog menjamin kebutuhan beras tersedia di masyarakat walau ada lonjakan permintaan yang tiba-tiba. Bulog akan menggunakan seluruh instrumen yang ada untuk menjamin ketersediaan pangan tersebut," ujar Budi.
(Baca: Bulog Pastikan Cadangan Beras RI Aman Untuk Menghadapi Pandemi Corona)
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan pemerintah pusat dan pemda agar lebih memperkuat koordinasi di bidang pangan. “Pemerintah pusat diharapkan memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah lewat Satgas Pangan," kata Galuh Octania.
Selain itu, akses pelabuhan juga harus tetap dibuka untuk pengiriman pangan lintas pulau. Langkah berikutnya, menerapkan skala prioritas dalam proses pengiriman. Pengiriman logistik pangan oleh pengusaha-pengusaha retail diharapkan lebih mengutamakan produk/komoditas pangan pokok dibanding kebutuhan pangan lainnya seperti biskuit dan makanan ringan.
Mengantisipasi kelangkaan kebutuhan pokok di masa pandemi, pemerintah mencadangkan anggaran sebesar Rp 25 triliun, termasuk untuk operasi pasar.
Masalah Pangan Dunia
Saat ini, seluruh negara berlomba mengamankan ketahanan pangan agar mampu menghadapi masa krisis akibat pandemi corona yang diperkirakan masih akan panjang.
Untuk mencegah semakin meluasnya wabah, sejumlah negara menerapkan lockdown atau pun karantina beberapa wilayah. Opsi ini mengharuskan ketersediaan pangan dalam jumlah besar di tiap-tiap negara, yang ujungnya dapat mengganggu pasokan pangan global.
Banyak negara produsen bahan pangan langsung membatasi atau bahkan menutup pasar ekspor komoditi tertentu untuk memastikan agar kebutuhan dalam negerinya tercukupi.
Negara produsen gandum terbesar di dunia seperti Rusia, Kazakhstan, dan Ukraina, terang-terangan mengumumkan pembatasan ekspor bahan dasar roti tersebut. Begitu juga dengan beras. Vietnam, Thailand, meskipun selama ini disebut sebagai lumbung beras di Asia Tenggara tetap memikirkan dan mengamankan pasokan di dalam negerinya.
(Baca: Ekonom Minta Pemerintah Prioritaskan Sektor Pertanian saat PSBB)
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 ini bisa menyebabkan krisis pangan dunia.
Jika berbagai negara tidak mengantisipasi sejak dini, krisis pangan diperkirakan mulai terasa pada Mei-Juni 2020. Bahkan, ada kemungkinan krisis berlanjut hingga dua tahun ke depan.
Kepala Ekonom FAO Maximo Torero Cullen mengemukakan krisis pangan bisa dipicu antara lain terbatasnya jumlah pekerja di sektor pertanian akibat kebijakan karantina. Produksi ternak pun berpotensi menurun karena gangguan logistik pakan.
Untuk itu, setiap negara agar menjaga kelancaran rantai pasokan makanan, yang melibatkan interaksi di sektor pertanian mulai dari petani, benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, hingga pedagang. Demikian juga di sektor peternakan dan perikanan, memiliki pola interaksi yang hampir sama.
Merespons peringatan FAO, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk memprioritaskan ketersediaan bahan pokok hingga ke daerah-daerah. “Jangan sampai stok bahan makanan di pasar tidak mencukupi yang dapat menambah keresahan masyarakat,” kata Jokowi, 13 April 2020 lalu.