Harga Minyak Naik, tapi Berpotensi di Bawah US$ 0/Barel Lagi pada Juni

Katadata
Ilustrasi kilang minyak
18/5/2020, 07.48 WIB

Harga minyak cenderung menguat pada pagi, hari ini (18/5). Namun, analis dan produsen mengantisipasi harganya anjlok lagi atau bahkan minus pada bulan depan.

Berdasarkan data Bloomberg, Pukul 07.26 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juli 2020 naik 3,42% menjadi US$ 33,61 per barel. Sedangkan, minyak jenis west texas intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juni 2020 naik 4,25% ke level US$ 30,68 per barel.

Namun, ada kekhawatiran harganya anjlok lagi. Penyebabnya, kontrak berjangka minyak jenis west texas intermediate (WTI) kedaluwarsa pada Juni.

Ketika kontraknya habis pada April lalu, harga minyak jenis ini sempat merosot hingga minus US$ 37,63 per barel pada bulan lalu (21/4). Saat itu, investor ritel memegang kontrak yang hampir kedaluwarsa.

(Baca: Pasokan Global Diramal Turun, Harga Minyak Kembali Menguat)

Pada saat yang sama, permintaan minyak merosot tajam dan fasilitas penyimpanan di Cushing, Oklahoma, penuh. Alhasil, investor ritel tersebut ramai-ramai menjual kontrak berjangka untuk minyak jenis WTI.

”Terus terang, pedagang eceran kecil tidak memiliki bisnis dalam kontrak Mei pada saat itu,“ kata penasihat manajemen risiko Winhall Risk Analytics Henry Lichtenstein dan Brett Friedman dikutip dari Reuters, Senin (18/5). Mereka menilai, semestinya investor ritel ini dilarang berdagang guna menahan penurunan harga minyak.

Kontrak berjangka merupakan kontrak untuk pengiriman fisik komoditas atau efek tertentu yang mendasarinya. Banyak spekulan yang menjajakan kontrak dengan jaminan (underlying asset) berupa minyak mentah.

Akan tetapi, ada juga yang memperjualbelikan kontrak tersebut, karena menggunakan minyaknya. Contohnya, kilang minyak dan industri maskapai.

(Baca: Ditopang Optimisme Pulihnya Permintaan, Harga Minyak Merangkak Naik)

Wakil presiden senior manajemen risiko energi di PGM Commodity Services Patricia Hemsworth menilai, kekacauan bulan lalu tersebut mengancam status kontrak sebagai salah satu dari dua alat ukur harga minyak dunia. “Ini mengancam tolok ukur dengan penemuan harga yang sangat berharga dan alat transfer risiko selama 37 tahun," katanya.

Alhasil, investor yang memegang kontrak derivatif yang diperdagangkan di bursa Tiongkok dan Rusia yang terkena dampaknya. (Baca: Risiko Covid-19 dan Peningkatan Pasokan AS Menekan Harga Minyak Global)

Produsen pun ragu-ragu untuk menjual minyak pada bulan depan. "Produsen ragu untuk menjual untuk Juni," kata salah satu sumber yang merupakan produsen di AS.

Bank of China (BoC) mengaku telah menyewa pengacara untuk meminta CME menyelidiki alasan di balik fluktuasi harga secara abnormal pada 21 April lalu. Sebab, investor ritel diperkirakan kehilangan lebih dari 9 miliar yuan atau US$ 1,3  miliar dari produk minyak mentah di BoC.

Untuk mengantisipasi harga minyak anjlok lagi atau bahkan minus, pasokan di Cushing dikurangi 3 juta barel minggu lalu, berdasarkan data Energy Information Administration (EIA) AS. Dengan begitu, fasilitas ini bisa menerima pengiriman untuk kontrak Juni.

Selain itu, negara-negara pengekspor minyak dan Rusia (OPEC+) sudah mulai memangkas produksi minyak. Hal ini diharapkan bisa mengimbangi turunnya permintaan akibat pandemi corona.

Lalu, pengolahan minyak di Tiongkok mulai membeli pasokan lebih banyak, karena mulai membuka kembali aktivitas ekonomi. Harga minyak juga terbantu oleh berakhirnya perang harga antara Arab Saudi dan Rusia.

(Baca: Hubungan Merenggang, Trump Tolak Renegosasi Dagang dengan Tiongkok)

Reporter: Verda Nano Setiawan