Cegah Kebakaran Hutan Gambut Papua, BRG Gandeng Masyarakat Adat

ANTARA FOTO/ManggalaAqni/Jj
Foto udara, kepulan asap di lokasi kebakaran lahan gambut yang masuk di areal perkebunan kelapa sawit. Badan Restorasi Gambut targetkan pengurangan kebakaran hutan gambut lewat kolaborasi dengan masyarakat setempat.
Penulis: Ekarina
14/7/2020, 06.00 WIB

Kebakaran lahan gambut menjadi salah satu fenomena tahunan yang menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Badan Restorasi Gambut (BRG) menyebut, kebakaran lahan gambut di Papua misalnya, kerap terjadi akibat kegiatan pembukaan rawa untuk pengalihan tata guna lahan serta kegiatan berburu masyarakat setempat.

Kendati demikian, tak mudah mencegah masyarakat tak melakukan kegiatan pembakaran hutan. Sebab, kegiatan perburuan merupakan budaya masyarakat adat di sana. 

Pembakaran hutan juga kerap dijadikan sebagai cara atau teknologi masyarakat untuk menangkap hewan maupun menjadikan lokasi pembakaran sebagai tempat habitat hewan buruan. Sehingga, perlu upaya komunikasi jangka panjang dan berhati-hati untuk mengedukasi masyarakat adat mengenai cara-cara pencegahan kebakaran hutan.

(Baca: Rehabilitasi Hutan, Menteri LHK Usulkan Tambahan Anggaran Rp 5,3 T)

"Di Papua ini kami berhati-hati dan komunikasinya panjang. Karena kita tahu berburu itu bagian dari budaya. Pembakaran bagian dari teknologi. Kami belum temukan solusi, baru himbauan kepada masyarakat untuk mengurangi pembakaran," kata Deputi III bidang edukasi, sosialisasi, partisipasi dan kemitraan BRG Myrna A Safitri dalam diskusi daring Festival Desa-Desa Nusantara, Tata Kelola Kampung dalam Ekosistem Gambut, Senin (13/7).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 mencatat, di Papua karakteristik lahan yang terdiri dari lahan gambut memiliki luas tutupan hutan terbesar di Indonesia. Adapun sekitar 25% dari total luas lahan gambut di Indonesia tersebar di tanah Papua.

Oleh karena itu, untuk mendorong tata kelola gambut dan sumber daya alam dengan tetap melakukan perlindungan terhadap masyakat adat setempat, Badan Restorasi Gambut bersama Lembaga Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan menggandeng Kabupaten Merauke dan Kabupaten Mappi sebagai wilayah kerja Desa Peduli Gambut (DPG) mulai bekerja sama. Kolaborasi masyarakat adat dan lokal dilakukan guna merespons perubahan lanskap dan tata kelola desa.

(Baca: Asap Kabakaran Hutan Berbahaya bagi Penderita Asma Terinfeksi Corona)

Dengan adanya cara pendekatan di tingkat komunitas adat dan lokal dalam pengelolaan ekosistem gambut, diharapkan bisa mempercepat proses restorasi. BRG menargetkan restorasi atau pemulihan ekosistem gambut di Papua bisa mencapai 39.239 hektare

Dari angka tersebut, 3.071 hektare di antaranya merupakan area konservasi, 4.372 hektare area konsesi dan kawasan lain termasuk hutan produksi hutan lindung dan APL tak berizin 31.796 hektare.

Desa Peduli Gambut

Salah satu masyarakat adat di Papua yang selama ini hidup berdampingan dengan kawasan gambut adalah masyarakat suku Marind dan Yaqay. Kepala Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Timotius Balagaize mengatakan, Masyarakat adat Marind sudah lama hidup di ekosistem gambut serta sumber penghidupan. Namun saat ini terdapat beberapa persoalan model pembangunan ekstraktif dan belum melihat komunitas adat sebagai subyek.

Oleh sebab itu, dia menilai pembelajaran kampung peduli gambut menjadi contoh tentang peran masyarakat adat agar dapat terlibat aktif dalam merancang wilayah adat yang berkarakteristik ekosistem gambut. Sejak 2017 hingga saat ini sudah terdapat 8 kampung yang menjadi lokasi intervensi Program Desa Peduli Gambut, yang mana program ini antara lain tersebar Distrik Kurik, Kabupaten Merauke dan Distrik Obaa, Kabupaten Mappi.

“Rawa gambut masih belum banyak potensi, masyarakat pun masih belum memiliki pengetahuan banyak untuk mengelola ini untuk masa depan. Tantangan ini kami hadapi dengan pemetaan wilayah," katanya.

(Baca: 1,6 Juta Ha Lahan Gambut Terbakar, 63% Terkait Izin Konsesi Sawit)

Sementara itu, Project Manager Desa Peduli Gambut dari Lembaga Kemitraan, Yesaya Hardyanto mengatakan di Papua bagian selatan, khususnya di Kabupaten Merauke dan Mappi penguatan proses pelembagaan tata kelola kampung diamanatkan oleh UU Desa No .6/2014.

"Penguatan ini diintrodusir dengan mengadaptasi pendekatan kultural dan adat berbasis kolektivisme marga baik di kampung asli maupun transmigran dalam mendorong isu-isu pengelolaan sumberdaya alam," katanya.

Sedangkan Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PTPPMA) Naomi Marasian menambahkan, dalam penyusunan perencanaan lanskap gambut pemerintah kampung di wilayah adat Suku Yaqay, pemetaan menjadi kunci utama alat pengorganisasian wilayah adat.

Karena kedekatan masyarakat adat dengan lanskap ekosistem gambut terlihat dari beragam diksi yang komunitas gunakan dalam pemanfaatan ekosistem gambut.

"Proses-proses pembangunan perlu menempatkan komunitas adat sebagai ruang dialog yang aktif, semua masyarakat perlu memahami proses dan mekanisme perencanaan kampung sesuai kebutuhan komunal di lanskap ekosistem gambut," ujarnya.

Adapun databoks berikut menggambarkan 10 provinsi dengan kebakaran lahan dan hutan terluas di Indonesia sepanjang 2019. Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terluas sepanjang 2019.

Berdasarkan data SiPongi Karhutla Monitoring Sistem, luas karhutla di pronvinsi dengan ibu kota Palangkaraya sepanjang tahun lalu mencapai 134 ribu ha. Sementara, di urutan kedua adalah Kalimantan Barat dengan karhutla seluas 127 ribu ha, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di urutan ketiga dengan luas 119 ha.

Dari 10 provinsi dengan karhutla terluas, empat di antaranya berada di Kalimantan, tiga di Sumatera, dua di Nusa Tenggara, dan satu di Papua.