Praktik Pembelajaran Jarak Jauh yang Masih Kusut di Tengah Pandemi

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.
Pekerja memasang batas pelindung di meja siswa Sekolah Insan Sejahtera, Kampung Toga, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Selasa (4/8/2020). Menyambut nol kasus Covid-19 di Kabupaten Sumedang, sejumlah sekolah mempersiapkan fasilitas yang mendukung protokol kesehatan untuk kembali menggelar pembelajaran tatap muka.
Penulis: Sorta Tobing
10/8/2020, 13.11 WIB

Pembelajaran jarak jauh atau PJJ di tengah pandemi Covid-19 diperkirakan memberi efek buruk terhadap anak. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyebut ada tiga dampak negatif tersebut.

Pertama, ancaman putus sekolah. PJJ yang tidak optimal membuat banyak siswa terpaksa bekerja bukan belajar. Hal ini juga didukung adanya kemungkinan persepsi dari orang tua yang berubah. “Ancaman ini real dan bisa berdampak seumur hidup bagi anak,” katanya saat konferensi pers secara daring, Jumat (7/8).

Dampak negatif kedua adalah penurunan pencapaian belajar atau materi yang didapat peserta didik. Hal ini juga terjadi karena kesenjangan akses atau searan pembelajaran, misalnya telepon seluler dan internet. Tidak semua anak memilikinya.

Akibatnya, negara ini berisiko mengalami generasi learning loss. Berdasarkan studi, pembelajaran di kelas menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan PJJ.

Yang ketiga, peningkatan kekerasan terhadap anak, termasuk risiko psikosial. Anak bisa merasa stres karena harus terus berada di dalam rumah, tidak bisa bermain dan bertemu dengan teman-temannya.

Atas dasar itu, pemerintah memutuskan untuk membolehkan kembali pembelajaran tatap muka di sekolah yang masuk zona kuning Covid-19. Nadiem menjelaskan ada 43% peserta didik yang berada di dalam zona hijau dan kuning.

Mayoritas berasal dari daerah tertinggal dan terluar di Indonesia. "Semua data mengenai zonasi kuning, hijau, dan lainnya itu berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19," ujar mantan bos Gojek tersebut.

Total ada 245 kabupaten dan kotamadya yang dikategorikan zona hijau dan kuning corona. Sebanyak 31 daerah yang saat ini masuk zona hijau karena belum terdampak corona. Sedangkan 51 masuk zona hijau karena sudah tidak ada kasus Covid-19 baru dalam empat pekan terakhir.

Selain itu ada 163 kabupaten/kota yang masuk zona kuning. "Ini akan bisa dilakukan kegiatan belajar tatap muka, tapi sesuai kebijakan Kemendikbud, polanya hampir sama dengan zona hijau," kata Kepala Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai rencana Kemendikbud membuka sekolah dapat membahayakan kesehatan siswa. Berdasarkan pengawasan yang dilakukan KPAI terhadap 15 sekolah yang pernah mereka kunjungi selama pandemi corona, hanya satu sekolah yang dinilai sudah siap menyesuaikan pelaksanaan pembelajaran dengan protokol kesehatan.

"Kalau satu berbanding 15 itu menurut saya mengerikan sekali. Jadi seharusnya sekolah yang enggak siap, enggak usah dibuka. Bahaya buat anak-anak," kata dia.

Daripada merencanakan pembukaan sekolah di zona nonhijau, KPAI menyarankan agar Kemendikbud fokus menangani permasalahan yang muncul selama PJJ, misalnya dengan menggratiskan internet bagi siswa dan guru yang kesulitan mengakses internet. Selain itu, Kementerian perlu menyederhanakan kurikulum dan memetakan permasalahan yang ada di masing-masing daerah.

Ilustrasi. Akses internet gratis untuk pembelajaran jarak jauh di pedesaan. (ANTARA FOTO/Septianda Perdana/hp.)

Sejumlah Kendala Penerapan PJJ

Dalam diskusi tersebut, Nadiem juga memaparkan sejumlah kendala penerapan PJJ. "Situasi di masa PJJ ini sangat sulit, begitu banyak tantangan yang dihadapi," katanya.

Banyak guru kesulitan mengelola PJJ serta terbebani untuk menuntaskan kurikulum. Waktu pembelajaran berkurang sehingga guru-guru tidak mungkin memenuhi beban jam mengajar. Selain itu, guru-guru juga kesulitan berkomunikasi dengan orang tua sebagai mitra di rumah ketika anak menerapkan PJJ.

Kendala orang tua sebagai guru pertama bagi anak di rumah juga tidak mudah dalam mendampingi belajar. Tidak hanya itu, Nadiem mengatakan, ada juga orang tua yang kesulitan memotivasi anak-anaknya untuk belajar, ditambah lagi kesulitan dalam hal memahami materi pelajaran atau kurikulum.

Sementara, kendala yang dihadapi siswa ialah banyak yang mengaku kesulitan konsentrasi belajar dari rumah dan mengeluhkan beratnya penugasan dari guru. Belum lagi peningkatan stres dan jenuh akibat isolasi yang berkelanjutan serta berpotensi menimbulkan rasa cemas dan depresi pada anak.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah melakukan sejumlah upaya mengatasi hal ini, seperti program guru berbagi, bimbingan teknis daring, webinar hingga penyediaan kuota internet gratis bagi siswa.

Ada pula relaksasi anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) yang bisa digunakan untuk kuota siswa, peralatan pembelajaran dan untuk peralatan persiapan pembelajaran tatap muka.

Bagi daerah yang kesulitan dengan akses internet, Kemdikbud meluncurkan program belajar dari rumah yang disiarkan oleh TVRI dan RRI, mengoptimalkan Rumah Belajar sebagai salah satu platform daring, serta kerja sama dengan mitra lainnya.

Grafik Databoks berikut ini menunjukkan tak seluruh satuan pendidikan di Indonesia memiliki akses listrik, apalagi internet. Akibatnya, banyak peserta didik yang terhambat untuk melakukan kegiatan belajar dari rumah.

Langkah Atasi Kendala PJJ

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kurikulum darurat sebagai panduan belajar jarak jauh selama pandemi corona. Kurikulum ini dapat diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, hingga SMK.

Nadiem mengatakan, kurikulum darurat ini bukanlah hal baru melainkan penyederhanaan kompetensi dasar yang mengacu pada kurikulum 2013. Alhasil, pembelajaran jarak jauh dapat berfokus pada kompetensi yang esensial dan jadi prasyarat untuk kelanjutan ke tingkat selanjutnya. “Pelaksanaan kurikulum ini berlaku sampai akhir tahun ajaran,” ucapnya.

Para guru masih bisa memilih antara menerapkan kurikulum darurat dengan kurikulum 2013. Mereka juga dibolehkan menyederhanakan perangkat mata ajar sendiri. “Ini suatu opsi bagi sekolah, bagi kepala dinas masing-masing, pemerintah daerah untuk gunakan kurikulum darurat. Tidak dipaksakan,” kata dia.

KPAI menilai Kemendikbud kurang tegas dalam menetapkan kurikulum darurat tersebut. Di tengah pandemi sudah seharunya kurikulum juga disesuaikan dengan situasi darurat sehingga meringankan guru, siswa dan orang tua. "Kurikulum dalam situasi darurat ini harus digunakan seluruh sekolah, bukan menjadi kurikulum alternatif," kata Retno.

Reporter: Dimas Jarot Bayu, Antara