Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berencana membentuk merek dagang bersama untuk menampung hasil produksi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pasalnya, jika produk UMKM bertarung sendirian bakal tergilas oleh produk dari merek-merek besar.
Deputi Produksi dan Pemasaran Kemenkop UKM, Victoria Simanungkalit mengatakan, upaya tersebut dilakukan agar produk-produk yang dihasilkan semakin menarik pembeli. Proses edukasi pun akan diberikan berdasarkan kebutuhan usahanya pada level-level tertentu.
"Kami melakukan pendekatan inkubasi bisnis dan berbagi pemikiran kewirausahaan supaya UMKM berbisnis tidak semata-mata karena kepepet tapi ingin punya mimpi usahanya berkelanjutan," kata Victoria dalam webinar bertajuk 'Gotong Royong Jaga UMKM Indonesia' yang diadakan Katadata.co.id, Selasa (11/8).
Menurutnya langkah pembuatan merek beresama dilakukan agar UMKM segera naik kelas, sebab komposisinya tergolong besar jumlahnya namun kerap kalah dibanding merek perusahaan besar.
Berdasarkan catatannya jumlah usaha skala mikro di Indonesia tercatat mencapai 63,3 juta atau setara 98% dari total usaha yang ada. Kemudian usaha skala kecil sebanyak 783.000 atau sebesar 1,72% dan usaha menengah hanya 60.000 atau setara 0,09%.
Adapun kriteria usaha mikro yakni usaha dengan jumlah karyawan empat orang, memiliki aset sebesar Rp 50 juta dan omzet penjualan tahunan tak lebih dari Rp 300 juta. Sedangkan usaha kecil yakni usaha yang memiliki karyawan empat hingga 19 orang dengan aset Rp 50 juta-Rp 500 juta dan memiliki omzet Rp 300 juta-Rp 2,5 miliar.
Sementara kriteria usaha menengah adalah usaha yang memperkerjakan 20-99 karyawan dengan aset Rp 500 juta-Rp 10 miliar, dan memiliki omzet Rp 2,5 miliar-Rp 50 miliar.
"Kami akan membangun UMKM yang berkelanjutan agar struktur itu lebih baik yang tadinya piramida dengan usaha mikro yang sangat besar, kami akan mendorong strukturnya penggemukan di tengah," ujarnya.
Victoria menjelaskan upaya lainnya yang dilakukan Kemenkop UKM untuk mempercepat UMKM naik kelas yakni dengan adanya bantuan modal dan edukasi. Bantuan ini akan diberikan disesuaikan dengan kebutuhannya.
Dari sisi usaha mikro dan kecil akses permodalan akan diberikan perluasan, sementara usaha menengah dan besar akan dibantu untuk mendapatkan permodalan dalam bentuk investasi. Untuk pelatihan, jenis usaha yang mendapatkan akan dibedakan berdasarkan kebutuhannya.
Dalam kesempatan yang sama, Founder dan Chief Executive Officer (CEO) PT Amartha Mikro Fintek Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, hingga sekarang terjadi perbedaan yang signifikan antara UMKM di desa dan kota. Perbedaan tersebut di antaranya sulitnya mendapatkan akses permodalan, mininnya edukasi dan perbedaan pasar.
Sebagian besar institusi perbankan atau lembaga keuangan tak mampu menjangkau pelaku usaha di desa baik dari segi permodalan maupun pelatihan. Oleh karena itu, pemerintah harus meningkatkan kerja sama dengan swasta agar dapat segera terjadi pemerataan ekonomi.
"Kami mempunyai jaringan di seluruh Indonesia dan sekarang sudah melayani lebih dari 500.000 perempuan pelaku usaha mikro untuk bisa mendapatkan akses modal," kata Andi.
Tak hanya itu, ia mengatakan selama 10 tahun mendampingi UMKM di pedesaan mayoritas masyarakat bekerja pada sektor informal. Sehingga mereka tak memiliki jaminan yang kuat mendapatkan modal dari lembaga keuangan.
"Itu menjadi tantangan kami untuk memberikan akses permodalan bagi masyarakat desa," ujarnya.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik tahun 2018 jumlah UMKM tercatat sebanyak 64,2 juta unit. Kontribusi dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 60,3%. Selain itu, UMKM menyerap 97% dari total tenaga kerja dan 99% dari total lapangan kerja.