Pemerintah tengah memacu usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM masuk ke medium daring atau go digital. Langkah ini dilakukan mengingat di era kenormalan baru konsumsi masyarakat tak bisa dilakukan secara langsung. Begitupun karena perilaku masyarakat yang berubah ke arah daring.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Kemenkop & UMKM, Arfi Rahman menargetkan 10 juta UMKM bisa go digital pada 2020. Ia pun optimis target tersebut bisa tercapai. “Peluangnya pemakai internet, pemakai aplikasi, jumlahnya sudah lebih dari 120 juta,” katanya, Senin (10/8) melansir Antara.
Sampai 30 Juli 2020, pemerintah mencatat 9,4 juta UMKM telah go digital. Namun, jumlah ini masih sedikit jika dibandingkan dengan total UMKM di Indonesia yang mencapai 60 juta. Maka, diperlukan kerja ekstra untuk membuat seluruhnya beralih ke ekosistem daring.
Riset Katadata Insight Center (KIC) kepada 206 pelaku UMKM di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) periode 8-15 Juni 2020 menemukan beberapa kendala mereka untuk go digital. Kendala utama adalah konsumen belum mampu menggunakan internet (34%).
Selanjutnya, 23,8% responden menyatakan kurang pengetahuan dalam menjalankan usaha secara daring. Lalu, 19,9% menyatakan tenaga kerja belum siap go digital. 18,4% dari mereka pun menyatakan infrastruktur telekomunikasi di wilayahnya tidak layak.
Kendala lain yang dirasakan para responden, adalah dana tidak memadai (9,7%), banyak saingan (3,4%), dan hanya berjualan offline (1,9%). Sementara, 22,3% menyatakan tidak memiliki kendala sama sekali untuk masuk ke ekosistem digital.
Direktur Integrated Operations PT Unilever Indonesia Tbk, Enny Hartati Sampurno pun menyatakan akses infrastruktur masih menjadi kendala utama. Menurutnya, 20-25% UMKM di wilaya pedesaan tak memiliki ponsel pintar dan jaringan internet memadai. Pernyataan ini disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk Digitalisasi UMKM: Tantangan dan Peluang yang diselenggarakan Katadata.co.id, Selasa (11/8).
Dalam kesempatan sama, Manager Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Asosiasi e-commerce Indonesia (iDEA) Rofi Uddarojat menambahkan kendala lain adalah logisitik. Hal ini kerap membebani konsumen. Ia mengilustrasikan, seorang belanja barang di e-commerce dengan harga kurang dari Rp 50.000. Namun, lantaran lokasi pembeli jauh dari penjual, ongkos kirim justru lebih mahal dari harga barang.
Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia, Jefri R. Sirait menilai seluruh kendala yang ditemukan dalam survei KIC adalah mendasar dan harus segera diselesaikan pemerintah. Ia pun menyatakan beberapa hal yang mesti dilakukan pemerintah untuk memacu UMKM go digital, yakni sebagai berikut:
Memberi Subsidi Internet dan Perangkat
Jefri menilai bantuan pemerintah kepada UMKM yang selama ini fokus kepada modal kerja, baik melalui skema perbankan maupun bantuan langsung tunai (BLT), belum cukup untuk membuat mereka go digital. Mengingat bantuan tersebut berguna bagi menjaga mereka tetap eksis, tapi belum mampu menyelesaikan masalah fundamental terkait akses internet dan kepemilikan gawai.
“Digital itu menggunakan bandwith, device (perangkat), pemerintah harus punya dukungan dana atau subsidi ke situ,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (11/8).
Agar bantuan tersebut bisa berjalan, menurut Jefri, pemerintah perlu melakukan pendataan kepada seluruh pelaku UMKM. Sehingga bisa terlihat di kelas dan wilayah mana pelaku UMKM yang membutuhkan bantuan tersebut.
“Segmen itu harus jelas, ada di daerah mana, urban, kota besar, desa, atau di mana? Usahanya mikro, kecil atau menengah?” katanya.
Membuat Program Pendidikan Digital
Terkait kendala pengetahuan pelaku UMKM dalam menjalankan bisnis secara digital, Jefri menilai pemerintah perlu membuat program pendampingan kepada mereka. Program ini pun tak sekadar perkara menggunakan perangkat digital, tapi juga cara mengakses pasar daring.
Selain itu, Jefri meminta pemerintah untuk membuat program pendidikan digital sejak dini. Hal ini penting untuk membiasakan masyarakat masuk ke ekosistem daring sejak dini. Sehingga tak kaget seperti saat pandemi virus corona.
“Di sekolah-sekolah harus dipastikan koneksi internetnya. Tidak hanya ada mata pelajaran komputer, tapi tidak ada akses internet,” kata Jefri.
Fasilitas internet di sekolah, kata Jefri, bisa memudahkan pengajar atau sekolah membuat program pendidikan bisnis secara daring. Berbeda dengan sebelumnya yang program serupa dilakukan secara offline.
Membantu Agen Transformasi Digital
Terakhir, kata Jefri, pemerintah perlu juga membantu agen transformasi digital yang dalam hal ini adalah startup seperti e-commerce dan penyedia layanan laiknya Go-Jek. Bantuan tersebut bisa berupa investasi pemerintah kepada mereka.
Bantuan ini, kata Jefri, penting lantaran beban startup tersebut juga bertambah di tengah pandemi. Sementara, untuk mampu menjadi ruang UMKM ke ekosistem digital membutuhkan tambahan pembaharuan sistem yang memakan biaya.
Jefri mencontohkan Go-Jek yang meluncurkan platform khusus UMKM agar bisa go digital. Untuk memaksimalkannya membutuhkan tambahan dari sumber daya manusia sampai pendanaan. Akan lebih baik jika pendanaan tersebut dari pemerintah, sehingga ada rasa kepemilikan dari negara dan bisa semakin menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
“Startup ini kan juga UMKM, kalau pemerintah berinvestasi jadi punya saham di UMKM juga,” katanya.
Lagi pula, kata Jefri, startup juga bisa menjadi rekan pemerintah untuk meingkatkan kualitas dan kelas UMKM. Ia pun menilai cara ini tidak boros dan efektif, sebab langsung menyasar ke ahlinya untuk mendorong transformasi digital.