DPR & Buruh Bentuk Tim Perumus, Pasal Omnibus Law Masih Banyak Masalah

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). Mereka menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Penulis: Sorta Tobing
19/8/2020, 14.14 WIB

DPR dan sejumlah organisasi buruh menyepakati pembentukan Tim Perumus Omnibus Law Rancangaan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan tim ini akan bekerja menemukan solusi terkait pasal-pasal yang masih dianggap bermasalah.

Tim Perumus akan dipimpin oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya dan bekerja selama dua hari, pada 20 sampai 21 Agustus 2020. “Mudah-mudahan tercapai titik temu dan solusi-solusi terhadap berbagai pasal tersebut,” kata Dasco usai menerima Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/8).

Organisasi buruh yang mendukung pembentukan tim itu mewakili 32 federasi dan konfederasi. Serikat pekerja yang tergabung antara lain 13 federasi dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau KSPSI Andi Gani, 9 federasi dari KSPI, 3 federasi dari KSPSI Yoris, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia atau FSPMI, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia '98 atau PPMI 98, forum guru, dan tenaga honorer.

Willy mengakui masih ada pasal yang menjadi perdebatan. Misalnya, aturan terkait standar dan kriteria masuknya izin tenaga kerja, upah, keamanan pekerjaan, dan pesangon. Ada sekitar sembilan poin yang akan masuk dalam pembahasan.

"Selama ini dari pemerintah dan hasil pembahasan tripartit sudah kami dapatkan sehingga nanti kami sandingkan. Itu baru pembahasan di Baleg DPR, tahap berikutnya akan dibahas bersama pemerintah," ujarnya.

Terkait pembentukan Tim Perumus, Said Iqbal menyebut ada perbedaan dengan tim teknis buatan pemerintah. Fungsi serikat pekerja dalam tim teknis pemerintah ibarat alat stempel. “Seolah-olah Menteri Ketenagakerjaan sudah mengundang tripartit. Padahal, tidak ada perubahan,” katanya.  

Adapun tim bersama yang dibentuk DPR bersama serikat pekerja, menurut dia, lebih legal. Tim ini juga akan membuat rumusan sebagai bahan yang akan dijadikan argumentasi Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR kepada pemerintah. "Kami berharap masukan ini bisa membuat draf pemerintah ditolak oleh DPR," kata dia.

Ia menambahkan, kerja-kerja di tim bersama ini tidak membuat serikat buruh meniadakan aksi. KSPI berencana menggelar aksi puluhan ribu buruh di DPR dan Kantor Kemenko Perekonomian pada 25 Agustus.

Aksi serupa juga serentak akan dilakukan di 20 provinsi dengan dua isu utama, yaitu tolak omnibus law dan hentikan pemutusan hubungan kerja. "KSPI mendukung kebijakan untuk mempermudah keberadaan investasi. Tapi harus ada perlindungan bagi kaum buruh," kata Said..

Sebelumnya, anggota DPR Hendrawan Supratikno mengatakan saat ini pembahasan RUU Cipta Kerja sudah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang substantif yang berjumlah sekitar 1.500 DIM.

DIM yang akan dibahas tersebut merupakan bagian yang banyak menimbulkan pro-kontra di masyarakat. "Sudah sekitar 75% DIM dibicarakan. Sisanya, 25% akan dibicarakan masa sidang  2020/2021 ini," kata dia.

Kritik Terhadap Omnibus Law

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Faisal Basri sebelumnya mengatakan pemerintah salah diagnosa saat menyusun RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan dalih meningkatkan investasi. Pasalnya, realisasi investasi Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk.

Ia menduga RUU tersebut hanya menjadi pesanan kelompok elit atau oligarki untuk menyedot sumber daya alam yang ada di Tanah Air. "Ada dimensi yang di luar kemampuan kita untuk menata ini semua dan omnibus law itu salah kaprah," kata Faisal dalam diskusi daring pada 27 Juli lalu.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Realisasi investasi Indonesia pada 2019 sebesar Rp 809,6 triliun. Angka ini melampaui target yang sebesar Rp 792 triliun. Selama lima tahun terakhir, realisasi investasi Indonesia naik hingga 48,4% dari realisasi 2015 yang sebesar Rp 545,4 triliun.

Jika dibandingkan dengan 2018, realisasi naik 12,24% dari Rp 721,3 triliun, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini. Kontribusi terbesar berasal dari penanaman modal asing (PMA) yang sebesar Rp 423,1 triliun, naik 10% dibandingkan tahun sebelumnya Rp 392,7 triliun.

Pemerintah telah rampung membahas kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Dalam pembahasan itu, tuntutan buruh hanya akan menjadi rekomendasi dan tidak masuk dalam perubahan pasal-pasal.  

Pemerintah akan menyerahkan rekomendasi tuntutan buruh dan daftar inventarisasi masalah kepada DPR. "Seluruh masukan dari tim tripartit ini akan dipergunakan sebagai rumusan penyempurnaan dari Draft RUU Cipta Kerja yang telah disampaikan ke DPR," kata Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah beberapa waktu lalu.

Tim Tripartit yang ikut dalam pembahasan itu terdiri dari pemerintah, unsur pengusaha (Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Kamar Dagang Indonesia), serta serikat buruh. Pembahasan itu digelar dalam sembilan kali pertemuan dalam rentang 8 Juli sampai 23 Juli 2020.

Pembahasan yang disepakati oleh ketiga pihak ini hanya terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Serikat buruh yang bergabung dalam tripartit adalah Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Adapun dua serikat buruh lainnya yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) keluar dari tim teknis itu.

Pasal Bermasalah RUU Cipta Kerja

Pasal-pasal bermasalah Omnibus Law Cipta Kerja masih jauh dari kata selesai. Penolakannya terus terdengar meskipun Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim pembahasannya telah sampai 75%. Para buruh mengancam akan terus melakukan aksi demonstrasi setiap pekan.

Sejak pemerintahan Joko Widodo mengajukan RUU itu pada 7 Februari 2020 paling tidak ada tiga poin bermasalah soal ketenagakerjaan dalam RUU itu. Pertama, penghapusan libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja. Pada Pasal 79 ayat (2) poin b menyebut istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Kedua, soal pengupahan. Dalam Pasal 88, melansir Tirto.id, menyebut ada tiga jenis upah minimum, yaitu upah minimum provinsi (UMP), upah minimum padat karya, dan upah minimum usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pada Pasal 88C tertulis gubernur menentapkan upah minimum sebagai pengaman. Pasal ini membuat banyak pihak khawatir. Pemerintah seolah berupaya menghilangkan upah minimum kabupaten atau kota (UMK). Sebagai informasi, UMP nilainya selalu lebih kecil dari UMK. Contohnya, UMK Karawang sebesar Rp 4,59 juta, sedangkan UMP-nya Rp 1,8 juta.

Poin lainnya yang bermasalah adalah soal jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Omnibus law menghapus ketentuan pengaturan pembatasan jangka waktu kontrak kerja. Hal ini membuat pekerja rentan kena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pengusaha yang dapat menentukan kapan masa berlaku kontraknya berakhir. Nasib tragis lainnya, pekerja dapat berakhir menjadi karyawan kontrak selama masa ia bekerja.

Reporter: Rizky Alika, Tri Kurnia Yunianto, Antara