RUU Cipta Kerja Berpotensi Kembalikan Kewenangan Daerah ke Pusat

ANTARA FOTO/Reno Esnir/nz
Aktivis Walhi Indonesia saat melakukan aksi damai di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (9/7/2020). Dalam aksinya mereka menyerukan Tolak dan Hapus RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
22/9/2020, 19.20 WIB

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pendukungnya menyebut omnibus law ini akan efektif untuk menciptakan lapangan kerja dengan mendorong investasi. Sebaliknya, ada yang menganggap RUU omnibus law ini berpotensi mendegradasi peran daerah dalam perizinan.

“Kami menangkap semangatnya dan semangat itu baik,” kata Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endi Jaweng dalam Webinar 'RUU Cipta Kerja: Momentum Agregasi Daya Saing Daerah' yang diadakan KPPOD, Katadata Insight Center, dan Kinara Indonesia, Selasa (22/9).

Robert menyatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja adalah momentum untuk melakukan reformasi. “Untuk mengintegrasikan berbagai peraturan, perizinan investasi yang sebelumnya berserakan di berbagai aturan untuk kemudian disatukan,” ujarnya.

Bagaimanapun, draf RUU sapu jagat ini tak lepas dari kritik. Sebab, menurutnya RUU Cipta Kerja akan mengurangi porsi keterlibatan pemerintah daerah dalam perizinan investasi. "Ini suatu mandat konstitusi yang tidak bisa dibenarkan," ujar dia.

Sebagai gambaran, berikut adalah Databoks hasil studi KPPOD mengenai peraturan daerah yang bermasalah pada 2017 lalu:

 

Lebih rinci, Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, RUU Cipta Kerja menghapus sejumlah pasal yang memuat kewenangan daerah, termasuk dalam menempatkan prioritas pariwisata di daerahnya. "Ketika dihapus, itu mengancam ruang daerah dalam optimalkan potensi daerah," kata Armand.

Selain itu, penarikan kewenangan itu diperkirakan dapat menyempitkan inovasi dan kewenangan daerah. Ia pun meminta, aturan tersebut dapat menjamin keberlanjutan lingkungan lestari, sosial inklusif, ekonomi unggul, dan tata kelola yang baik.

Selanjutnya, beleid Cipta Kerja perlu menjadi cerminan keseimbangan kebijakan. Ia berharap, seluruh stakeholder dapat terjamin kepentingannya melalui RUU Cipta Kerja.

Tak hanya itu, Omnibus Law diharapkan dapat menjamin tercapainya daya saing berkelanjutan di daerah, optimalisasi sumber daya daerah, dan menghasilkan output yang berkelanjutan.

Menjawab kritik itu, Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi, Kemenko Perekonomian Lestari Indah mengatakan, RUU Cipta Kerja tidak meghilangkan peran pemerintah daerah dalam melakukan perizinan dan pengawasan kegiatan berusaha.

"Daerah tetap pada posisinya dalam pelaksanan perizinan pengawasan kegiatan berusaha," ujar dia.

Ia pun memastikan, dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, kewenangan pemerintah daerah mengacu pada Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang disusun oleh pemerintah pusat. Hal ini bertujuan agar setiap pemerintah daerah tidak menyusun NSPK terpisah-pisah.

Meski begitu, pelaksanaan aturan tetap menjadi peran pemerintah daerah. Ia pun meminta, reformasi tidak hanya dilakukan di tingkat pusat, namun juga di tingkat daerah.

Dengan demikian, setiap daerah dapat melakukan reformasi secara bersama-sama untuk meningkatkan daya saing mereka. "Kami juga akan bantu sosialisasi, edukasi, dan pendampingan dalam meningkatkan kompetensi aparatur daerah," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, KPPOD, Katadata Insight Center, dan Kinara Indonesia turut memperkenalkan Indeks Daya Saing yang Berkelanjutan di Indonesia . Studi tersebut diharapkan bisa mendorong daerah untuk mempertahankan prestasi serta memperkuat daya saing. 

Reporter: Rizky Alika