Tarik-Ulur Peluang Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Aturan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN telah masuk dalam draf rancangan undang-undang energi baru terbarukan. DPR dan pemerintah sedang menggodoknya dan kritik dari berbagai kalangan sudah mulai terdengar.
Thorcon, pengusaha energi nuklir asal Amerika Serikat yang fokus mengembangkan PLTN di Indonesia, menyebut beberapa pasal RUU EBT berbeda dengan konsep sebelumnya. Kepala Perwakilan ThorCon International, Pte Ltd, Bob S Effendi mengatakan perubahan itu berpotensi menghambat keran investasi.
Misalnya, pasal 7 ayat 3 menyebutkan pembangunan PLTN hanya dikerjakan oleh badan usaha milik negara atau BUMN khusus. “Hal ini tentu menutup peluang swasta yang akan investasi, seperti Thorcon,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (21/9).
Tak hanya itu, pasal tersebut juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran dan undang-undang anti monopoli. Bob menilai keputusan itu juga tak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang membuka peluang investasi seluas-luasnya.
Dugaannya, ada yang menyelundupkan pasal tersebut. "Saya pun baru tahu Jumat kemarin karena dalam draf Juni 2020 tidak demikian bunyinya," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Ramson Siagian saat dikonfirmasi mengenai protes tersebut memilih tak berkomentar, begitu pula dengan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial. Sampai berita ini diturunkan, pesan singkat Katadata.co.id tidak mereka balas.
Konsep draf RUU EBT pada Juli lalu berbeda dengan September 2020. Misalnya, pasal 6 bertambah satu ayat. Ayat 2 berbunyi, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis sumber energi baru diatur dalam peraturan pemerintah.
Pada pasal 7 ayat 2 berubah menjadi pembangkit daya nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri dari pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir. Ayat 3 tertulis pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning PLTN dilaksanakan oleh badan usaha milik negara khusus.
Lalu, ayat 4 berbunyi pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning pembangkit panas nuklir dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, koperasi, dan/atau badan swasta. Ayat 5 menyebut pembangunan PLTN ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah mendapat persetujuan dari DPR. Dan pada ayat 6, ketentuan lebih lanjut mengenai BUMN khusus diatur dalam peraturan pemerintah.
Kehadiran RUU EBT harapannya sejalan dengan rencana pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan naik menjadi 31% pada 2050. Harapannya, pemakaian energi fosil turun 20% pada 2050. Target ini juga untuk mengantisipasi terbatasnya cadangan bahan bakar fosil dan meningkatnya kebutuhan energi masyarakat
Pro-Kontra Regulasi PLTN
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat RUU EBT sebaiknya fokus pada pengembangan energi terbarukan, bukan nuklir. Pasalnya, penggunaan nuklir telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang ketenaganukliran. "Jadi, kalau dirasa perlu untuk mengatur PLTN lebih lanjut, revisi saja UU ketenaganukliran," ujarnya.
Indonesia sebenarnya tetap dapat memenuhi kebutuhan energi di masa depan tanpa harus bergantung pada PLTN. Hal ini mengingat teknologi nuklir yang digunakan masih berisiko tinggi dan mahal. "Kalau ada yang bilang PLTN itu murah, itu tidak bertanggung jawab," kata Fabby.
Semua proyek PLTN komersial dapat terbangun lantaran adanya subsidi besar-besaran dari pemerintah, misalnya di Uni Emirat Arab, Inggris, dan India. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan, Amerika serikat merupakan pengguna pembangkit listrik tenaga nuklir terbanyak di dunia.
Adanya anggapan proyek pembangkit listrik nuklir relatif aman karena syarat operasionalnya sangat ketat. Institusi pengawas atau regulator proyek PLTN harus benar-benar andal, mumpuni, dan independen.
Fabby tidak yakin hal itu dapat dilakukan Indonesia. Pasalnya, salah satu yang kerap jadi persoalan berbagai proyek di Tanah Air adalah pengawasan. "Terus terang saya punya keragu-raguan mengenai hal tersebut," ujarnya.
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia atau METI mengusulkan agar UU EBT dinamai UU Energi Terbarukan (ET). Ketua METI Surya Dharma menyarankan semua kata yang mengandung energi baru untuk dihapus. "Selaras dengan tujuannya, UU ET untuk memberikan kepastian regulasi pengembangan dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia," kata dia pada Kamis lalu.
Namun, Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) mempunyai padangan yang berbeda. Ketua Umum MKI Wiluyo Kusdwiharto menilai penamaan UU EBT sudah tepat sehingga energi nuklir masih dapat terwadahi
Persiapan pembangunan PLTN dapat dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan UU ketenagalistrikan dan peraturan turunannya. "Pelaksanaan penelitian dan pengembangan energi nuklir dan sumber daya nuklir dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan UU ketenaganukliran dan peraturan turunannya," uja Wiluyo.
Regulasi pengembangan di sektor energi nuklir juga masuk sektor sasaran pemerintah dalam menyusun RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam draf aturan itu, soal ketenaganukliran tertuang mulai dari Pasal 208.
Pada ayat 1 berbunyi pengusahaan ketenaganukliran diselenggarakan oleh badan pelaksana. Badan pelaksana berwenang memberikan izin kepada BUMN, koperasi, badan swasta, dan/atau badan lain untuk melakukan kegiatan usaha ketenaganukliran.
Kemudian pada Pasal 209 tertulis, pembuatan bahan bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh badan pelaksana. Badan pelaksana sendiri dapat bekerja sama dengan BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta.
Biaya PLTN di Indonesia
Dalam merealisasikan proyek PLTN di Indonesia, Thorcon telah melakukan prakajian bersama Badan Layanan Umum Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (P3Tek KEBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Hasilnya telah dilanjutkan dengan studi persiapan implementasi bekerja sama dengan PLN Enjinering. Studi ini akan membahas banyak aspek khususnya studi tapak. "Lagi persiapan, mungkin dimulai akhir tahun 2020," kata Bob. Nominal investasi yang telah dipersiapkan Thorcon untuk merealisasikan proyek ini mencapai Rp 17 triliun.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan PLN sempat melakukan studi tapak pada 2011 hingga 2013. Kepala Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir Suparman mengatakan ada dua lokasi yang dinyatakan layak untuk pembangunan PLTN dari hasil studi itu. Keduanya berada di Bangka Belitung, yaitu Tanah Merah-Teluk Menggris, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, dan Tanjung Krasak-Tanjung Berani, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.
Kedua tapak tersebut juga telah memenuhi kriteria keselamatan tapak, yaitu masih dalam batas aman dari ancaman bahaya alam. Misalnya, potensi tsunami, gempa, fenomena gunung api, banjir, meteorologi ekstrim, dan ancaman akibat kegiatan manusia.
Dampak lingkungan yang timbul pun dianggap dapat terkelola dengan baik. "Tapak Bangka Barat dapat digunakan untuk pembangunan enam unit PLTN, sedangkan Bangka Selatan empat unit dengan kapasitas per unit masing-masing 1.000 mega Watt," ujar dia kepada Katadata.co.id.
Biaya pembangkitan listrik itu per kilo Watt hour (kWh) pada kisaran US$ 6 hingga US$ 8 dan sudah termasuk biaya jaringan listrik. Bila mempertimbangkan faktor risiko kecelakaan, maka akan ada kenaikan biaya sekitar US$ 0,16 per kilo Watt hour.
Dengan mempertimbangkan inflasi untuk biaya operasi, perawatan, dan bahan bakar, maka sekarang ada kenaikan biaya pembangkit sekitar US$ 0,43 per kWh. "Dari sini terlihat PLTN tidak begitu terpengaruh, dari sisi ekonomi, terhadap kenaikan harga bahan bakar dan biaya operasi dan perawatan," katanya.