Pandemi Covid-19 tak hanya berdampak pada kesehatan manusia, tapi multie-efek mulai ekonomi hingga krisis pangan. Sebelumnya, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia [FAO] sudah mewanti-wanti pandemi dapat memunculkan krisis pangan baru. Hingga kini, belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir. Sejumlah mitigasi diterapkan agar penyebaran virus tak meluas. Antara lain, dengan melakukan pebatasan sosial skala besar atau PSBB.
Salah satu yang menerapkan PSBB dengan menutup akses dari luar adalah masyarakat adat Sungai Utik yang telah menutup kampung sejak pertengahan Maret 2020. Tak ada kunjungan kecuali yang berizin dan seluruh aktivitas sepenuhnya terjadi dalam kampung. Namun, hal itu tak jadi masalah bagi mereka, karena tradisi dan kearifian lokal masyarakat adat itu telah membuat keseimbangan antara manusia dan alam.
Herkulanus Sutumo Manna, warga Sungai Utik, mengungkapkan bahwa sejak pertengahan Maret 2020, masyarakat adat Dayak Iban itu menutup kampung dan kehidupan berjalan seperti hari-hari biasa. Kehidupan dalam kampung berjalan normal. Tak ada kekhawatiran karena pangan ada dan tersedia di dalam kampung.
”Berapa lama pun kampung ditutup kami mampu bertahan, karena ada padi, sayur, buah dan hutan yang telah menyediakan berbagai kebutuhan dasar,” kata Herkulanus atau biasa dipanggil Tomo kepada tim riset Katadata.
Bagi Tomo, mitigasi bencana ini diajarkan oleh para leluhur mereka. Warga telah terbiasa bahwa dalam kondisi terburuk, mereka bisa bertahan. Apalagi baru saja Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ini baru saja menerima pengesahan Hutan Adat beberapa waktu lalu. Ini memperkuat alasan bahwa masyarakat adat lewat skema Hutan Adat Perhutanan Sosial dengan kearifan lokal mampu menjaga ketahanan pangan di saat pandemi.
Memaksimalkan program Perhutanan Sosial dalam merespons pandemi dinilai mampu mengurangi krisis pangan. Hal itu dikatakan oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto.
“Masyarakat harus mampu memanfaatkan program perhutanan sosial dengan mengembangkan komoditas pangan, obat-obatan berkualitas, serta energi sehingga kebutuhan pangan nasional terpenuhi,” kata Bambang dalam webinar ‘Pengembangan Perhutanan Sosial Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Masyarakat’ pada Juli 2020,yang diselenggarakan Universitas Lampung seperti dikutip dari Mongabay.
Produk hasil hutan pun bisa menjadi persediaan pangan masyarakat, sebut saja umbut rotan, umbi-umbian, satwa, madu, dan buah-buahan. Bahkan, ada yang dijadikan komoditas ekspor, seperti porang.
“Hutan juga menyediakan produk herbal, seperti pasak bumi yang bermanfaat menjaga stamina sehingga tetap bugar,” ujarnya.
Solusi tepat pengelolaan perhutanan sosial, guna mencapai ketersediaan pangan adalah dengan cara agroforestry atau wanatani. Wanatani merupakan sistem pertanian berkelanjutan yang mampu mengoptimalkan penggunaan lahan, kombinasi pepohonan dengan tanaman pertanian atau hewan ternak.
“Dengan wanatani kelestarian hutan terjaga,” ujar Bambang.
Contoh lain dari pemanfaatan Perhutanan Sosial untuk ketahanan pangan telah diterapkan oleh Provinsi Lampung dan petani yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Sistem tumpang sari ini, sangat membantu sebagai sumber ketahanan pangan masyarakat, terutama saat pendemi. “Tidak ada laporan krisis pangan di wilayah masyarakat yang mengembangkan perhutanan sosial,” kata kata Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Usaha Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Wahyudi seperti dikutip dari Mongabay. Dengan tumpang sari, masyarakat bisa menanam sumber karbohidrat, minimal untuk keluarga sendiri.
Sementara di wilayah Lembang, mereka melakukan penanaman pohon utama hutan yang diperkaya dengan penanaman pohon buah-buahan yang bisa manahan air tapi menghasilkan secara ekonomi.
"Seperti yang sudah umum adalah tanaman kopi, alpukat, nangka, lalu di bawahnya bisa tanaman perdu seperti stevia, jahe dan lain-lain,” kata Administratur Perhutani KPH Bandung Utara Komarudin, mengutip Media Indonesia (30/7). Jadi tidak mengubah fungsi hutan, tapi tetap menghasilkan bagi masyarakat sekitar hutan, ujarnya.
Percepat Izin
Pemerintah, periode 2015-2019 telah mengalokasikan 4,3 juta hektar (dari 12,7 juta hektar) perhutanan sosial, melalui skema hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA), dan kemitraan kehutanan (KK). Bambang menjelaskan, hutan sangat berkontribusi mendukung ketahanan pangan, dengan cara memproduksi sumber pangan.
Oleh sebab itu, realisasi izin pengelolaan hutan lestari agar sesuai capaian harus segera dipercepat. Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengungkapkan bahwa kesadaran akan pengelolaan hutan lewat skema-skema perhutanan sosial sudah ada. Namun, yang dipertanyakan adalah mengapa capaiannya sulit dicapai, sementara, urgensi sudah sangat besar. “Jika memang diyakini bahwa perhutanan sosial berkontribusi terhadap banyak hal terhadap lini kehidupan kita, terutama untuk pangan, maka sudah menjadi kewajiban untuk mempercepat capaian.”
Tak hanya capaian, Teguh juga menyampaikan bahwa tidak hanya target tapi juga memastikan program-program pasca izin, seperti edukasi, subsidi, transfer knowledge hingga pendampingan.
Perhutanan sosial diyakini berkontribusi pada kepentingan nasional, seperti komitmen iklim dan menjawab ketahanan pangan, jadi kontribusi perhutanan sosial ini sangat kasat mata. “Maka yang diperlukan dukungan pemerintah untuk mempercepat pemenuhan pencapaian target itu,” kata Teguh.