Negara-negara Kaya Kuasai Pasokan Vaksin Covid-19

ANTARA
Ilustrasi, vaksin virus corona. Negara-negara merebut pasokan vaksin Covid-19.
14/12/2020, 13.44 WIB

Pengembangan vaksin virus corona yang sangat cepat memberi harapan pandemi corona akan segera berlalu. Namun harapan itu sepertinya lebih terbuka bagi negara-negara kaya.

Pasalnya, pasokan vaksin yang ada saat ini masih dikuasai negara-negara maju dengan kemampuan keuangan yang baik. Berdasarkan laporan CNN.com, negara-negara tersebut telah berbelanja vaksin Covid-19 selama berbulan-bulan yang lalu.

Data dari Duke Global Health Innovation Center menyatakan negara-negara kaya mengadakan kesepakatan bilateral bernilai miliaran dolar Amerika Serikat untuk mendapatkan vaksin baru. Bukan itu saja, beberapa negara dan blok regional bahkan memesan vaksin lebih banyak dari populasi mereka. 

People's Vaccine Alliance, pengawas vaksin internasional yang mencakup Amnesty International dan Oxfam, mengatakan pada minggu lalu bahwa negara-negara kaya rata-rata membeli vaksin Covid-19 hingga tiga kali lipat dari jumlah populasi mereka. Bahkan Pemerintah Kanada membeli pasokan vaksin untuk lima hingga enam kali lipat populasi warganya. Meskipun tidak semua kandidat vaksin yang dipesan sudah mendapat persetujuan untuk digunakan.

Hal itu pun menyebabkan 70 negara miskin hanya akan dapat memvaksinasi satu dari 10 orang pada 2021."Sangat mengecewakan meskipun ada niat untuk mendapatkan kesetaraan di seluruh dunia," kata Profesor Gregory Hussey dari University of Cape Town dilansir dari CNN.com pada Minggu (13/12).

Sedangkan Kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika John Nkengasong mengatakan ketidakmampuan negara-negara miskin untuk mengakses vaksin akan menjadi "bencana besar". "Sama sekali tidak masuk akal secara moral untuk memiliki dosis vaksin yang berlebihan di negara tertentu dan sama sekali tidak ada dosis vaksin di negara lain, "kata Nkengasong.

Progam COVAX untuk Keadilan Pasokan Vaksin

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO sebenarnya sudah membuat program untuk mendapat akses vaksin yang adil dan merata. Program itu disebut dengan COVAX, yang dipimpin oleh aliansi vaksin global, Gavi.

Melalui COVAX, negara-negara berpendapatan tinggi dan menengah memberikan dana yang besar untuk memastikan pembuatan dan akses kepada vaksin Covid-19. Sedangkan negara-negara miskin, sebagian besar di benua Afrika, ikut di dalamnya untuk mendapatkan vaksin.

Selain negara-negara kaya, program itu juga didanai oleh lembaga pembangunan dan sumbangan dari kelompok sosial seperti yayasan Bill dan Melinda Gates. Sejauh ini, ada 189 negara yang menandatangani inisiasi COVAX dan itu tidak termasuk Amerika Serikat dan Rusia.

Meski begitu, akses yang adil terhadap vaksin tidak selalu hanya masalah uang. Seorang juru bicara Gavi mengatakan aliansi tersebut telah mengumpulkan lebih dari US$ 2 miliar untuk membeli vaksin bagi negara-negara termiskin.

Meski begitu, mereka perlu mengumpulkan lebih dari US$ 5 miliar lagi pada akhir tahun depan. "Prioritas kami tetap mengamankan pembiayaan yang diperlukan untuk memastikan negara-negara ini menerima akses cepat ke kandidat vaksin Covid-19 melalui fasilitas COVAX," kata juru bicara itu kepada CNN.

Namun, uang tidak bisa membeli vaksin yang sudah dijual. Apalagi kontributor utama COVAX, seperti Uni Eropa, Inggris, dan Kanada, telah melaksanakan beberapa kesepakatan bilateral terbesar dengan perusahaan farmasi. People's Vaccine Alliance berpendapat bahwa kesepakatan ini dapat merusak pakta COVAX yang telah mereka danai.

Apalagi Kanada merupakan pedonor terbesar untuk program COVAX. Dalam sebuah wawancara pada hari Jumat (11/12), Menteri Pembangunan Internasional Kanada Karina Gould mengatakan negaranya perlu memastikan pasokan karena sebagian besar vaksin masih dalam pengembangan dan dengan demikian hanya bersifat teoritis.

Dia pun menekankan bahwa Pemerintah Kanada masih berkomitmen terhadap akses yang adil dan terjangkau untuk vaksin Covid-19. "Kami bukan negara yang terisolasi dari dunia. Kami memiliki teman, keluarga, dan mitra bisnis di setiap wilayah di dunia. Kami hanya dapat memvaksinasi orang Kanada dan membuat mereka aman, tetapi kami tidak ingin terputus dari dunia, "Kata Gould.

Koordinator Pengembangan Imunisasi dan Vaksin di Wilayah Afrika dari WHO, Dr. Richard Mihingo, memahami bahwa negara-negara perlu memastikan warganya mendapatkan vaksinasi. Meskipun dia menyebut kesepakatan bilateral itu sebagai "kenyataan yang menyedihkan".

Adapun WHO menargetkan dapat memvaksinasi 20% populasi di Afrika pada akhir 2021. Namun, hal itu kemungkinan memerlukan waktu dua hingga tiga tahun. Dengan kondisi tersebut, Mihingo memproyeksi kesehatan masyarakat di wilayah yang gagal mendapatkan vaksin akan semakin parah.

Di sisi lain, COVAX juga berencana mengirimkan hampir 1 miliar dosis vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah pada akhir tahun 2021. Salah satu suber pasokannya yaitu vaksin negara kaya yang tidak terpakai. 

Namun, vaksin tersebut kemungkinan tidak akan cocok dengan negara berpenghasilan rendah. Seperti vaksin Pfizer / BioNTech dan Moderna yang mahal dan membutuhkan penyimpanan dingin yang ekstrim. Hal itu bakal menjadi tantangan bagi negara-negara dengan infrastruktur kesehatan terbatas.

Sedangkan vaksin dari Tiongkok belum menunjukkan data kemanjuran yang pasti. Mungkin solusi awal yang paling menjanjikan untuk negara-negara berpenghasilan rendah ialah vaksin Universitas Oxford / Astrazeneca yang dapat diangkut menggunakan pendingin dasar.

Mihingo mengatakan beberapa bulan ke depan akan sangat penting untuk memastikan bahwa sebagian besar populasi dunia tidak tertinggal dalam upaya vaksinasi terbesar. "Kita harus menyediakan pasokan minimum kepada negara-negara berpenghasilan rendah untuk memastikan mereka tidak hanya melindungi kehidupan yang paling rentan, tetapi juga membuka peluang untuk perdagangan dan membantu mengangkat diri mereka sendiri keluar dari kemiskinan," katanya.

Di sisi lain, vaksin Covid-19 dari Sinovac telah tiba di Tanah Air pada Minggu (6/12). Vaksin tersebut saat ini disimpan dengan aman di fasilitas penyimpanan milik PT Bio Farma di Bandung, Jawa Barat.

Menurut Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito, vaksin yang tiba itu sebanyak 1,2 juta dosis atau setara untuk memvaksin 600 ribu orang.  "Kehadiran vaksin ini tentunya merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam upaya penanganan Covid-19 di Indonesia, ujar Wiku pada Selasa (8/12). 

Lebih lanjut, dia menekankan vaksin yang tiba di tanah air itu menunggu izin Emergency Use of Authorization (EUA) yang akan dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Selain vaksin Sinovac yang baru masuk, masih ada berbagai kandidat vaksin lainnya sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 9860 Tahun 2020. Diantaranya AstraZeneca, BioFarma, Moderna, Pfizer, dan Sinopharm. 

Menurut Wiku, vaksin Covid-19 ini tujuannya salah satu upaya penanganan pandemi dengan menghadirkan kekebalan komunitas atau herd immunity . Ia juga menginformasikan, agar tercapai tujuan yang dimaksud, dibutuhkan sekitar 70% populasi yang harus divaksin agar terbentuk kekebalan komunitas dan sangat tergantung efektifitas vaksin tersebut. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dampak vaksinasi terhadap pengendalian transmisi penularan Covid-19 akan berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, sebelum kekebalan komunitas terbentuk melalui vaksin, masyarakat harus tetap disiplin dalam melakukan protokol kesehatan.

"Ingat, kedisplinan terhadap protokol kesehatan tetap merupakan kunci utama penangangan Covid-19 yang efektif," ujarnya.

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan