Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) resmi menghentikan dan memblokir rekening Front Pembela Islam (FPI) dan afiliasinya. Langkah tersebut seiring penghentian seluruh aktivitas organisasi besutan Rizieq Shihab tersebut.
Pekan lalu pemerintah telah menghentikan aktivitas FPI dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia , Menteri komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
“Tindakan penghentian sementara rekening FPI dan afiliasinya dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsi analisis, pemeriksaan laporan, dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang atau pidana lainnya,” bunyi keterangan tertulis PPATK seperti ditulis pada Rabu (6/1).
Blokir tersebut merupakan amanat Undang-Undang untuk mencegah adanya upaya pemindahan atau penggunaan dana dari rekening yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana
Hingga Senin (5/1), PPATK telah menerima 59 berita acara penghentian transaksi dari beberapa penyedia jasa keuangan (PJK) atas rekening FPI dan afiliasinya. Upaya tersbeut akan ditindaklanjuti PPATK dengan penyampaian hasil analisis kepada penegak hukum.
“Untuk dilanjutkan dengan proses penegakan hukum oleh aparat yang berwenang,” tulis PPATK.
Pemerintah resmi melarang dan membubarkan kegiatan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) mulai hari Rabu (30/12). Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan FPI sejak 21 Juni 2019 telah bubar secara de jure sebagai organisasi kemasyarakatan.
Meski demikian, ormas yang dipimpin Rizieq Shihab ini tetap menggelar aktivitas dan kerap melanggar ketertiban dan keamanan. “Karena FPI tak memiliki legal standing baik ormas maupun organisasi biasa,” kata Mahfud dalam jumpa pers secara virtual, Rabu (20/12).
Meski demikian sejumlah tokoh eks FPI langsung mendeklarasikan Front Persatuan Islam usai FPI dilarang pemerintah. Adapun Polri mengingatkan mereka untuk mendaftarkan diri sebagai ormas atau kegiatannya akan dilarang.
“Tentunya kalau ingin diakui menjadi Ormas, mereka harus mengikuti aturan sesuai dengan UU Keormasan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, Selasa (5/1) dikutip dari Tempo.