Pemerintah membuka wacana untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan Mahfud MD akan mengajak banyak pihak untuk memberi masukan soal aturan ini.
Mahfud akan membuka diskusi dengan berbagai pihak, seperti akademisi, awak media, pegiat demokrasi, serta korban dan pelapor UU ITE. Ini untuk mengetahui sejauh mana diperlukan perubahan terhadap pasal-pasal yang ada.
"Di situ kami menentukan resultante baru, apakah membuat tafsir baru atau cukup pada penerapan. Semua tidak tertutup kemungkinan," kata Mahfud dalam sebuah webinar, Kamis (25/2).
Adapun, revisi bisa dilakukan dengan berbagai opsi, seperti menambah kalimat atau penjelasan, menambah norma baru, atau mencabut aturan. Kesepakatan tersebut masih digodok antar instansi pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah membuka kemungkinan revisi UU ITE tersebut, terutama pada pasal-pasal karet. Pasal karet berarti pasal tersebut bisa dikencangkan atau dilonggarkan penerapannya, tergantung kebutuhan.
"Pasal karet dalam politik itu bisa berbahaya karena bisa dipakai A tapi tidak bisa dipakai B," ujar Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan UU ITE disusun dengan dua tujuan, yaitu menjaga jagat digital serta menjaga eksistensi dan keselamatan negara maupun bangsa dengan membangun demokrasi dan hukum yang kuat.
Namun, pemerintah belakangan mempertimbangkan revisi UU ITE lantaran kerap menimbulkan kontroversi seperti saling tuding dan ketidakadilan.
Sementara, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pasal-pasal yang perlu diutamakan untuk direvisi ialah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 36, dan Pasal 40. Untuk Pasal 27, ia menilai ketentuan itu membuka ruang tafsir yang sangat luas dan eksesif.
"Semua ujaran bisa masuk sana. Tidak bisa dibedakan lagi mana pencemaran nama baik, mana kritik," ujarnya. Hal ini membuat sejumlah orang tidak berani untuk mengutarakan kritiknya melalui media sosial atau media massa.
Selain itu, Pasal 28 ayat (2) berpotensi dimanfaatkan oleh pemerintah bila ada ujaran yang tidak disukai. "Ini bisa dilakukan penuntutan atas Pasal 28 ayat (2)," kata dia.
Ia pun berharap, pasal-pasal tersebut bisa direvisi dengan pasal baru yang memiliki kepastian hukum dan tidak digunakan untuk membungkam kritik dari masyarakat.